Jumat, 10 Juni 2016

CATATAN HATI SEORANG IJAH (#4)


-Rencana Allah-

3 hari berlalu sudah, sejak Bulek menerima paket proposal dariku. Tak enak hati sebenarnya, terus-menerus menanyakan tentang kepastian magang pada Bulek setiap hari. Tapi, seolah tak ada pilihan lain. Tak ada banyak waktu tersisa. Aku dan Ndeng masih sering bertemu, meskipun kami hanya tinggal menunggu keputusan perusahaan (untuk kedua kalinya). Bedanya, sekarang  kami menunggu keputusan perusahaan yang berbeda. Memei dan Upit sudah bersiap berangkat ke Jakarta. Sedangkan Gita sudah sibuk dengan magangnya di Semarang.
Seminggu lewat juga. Aku dan Ndeng benar-benar pasrah pada Allah. Kurasakan kegelisahan Ndeng yang masih terus menyelubungi pikiran dan perasaannya. Saat itu kami berdua makan siang bersama, di warung dekat kampus. Kami saling diam beberapa menit, sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Sampai akhirnya Ndeng mengatakan hal yang tak kusangka. “Aku ketompo magang neng Semarang, rakpo wes Jah.”, katanya sambil melihatku. Seolah memohon padaku dapat mengabulkan permintaannya tadi. Kutatap matanya. Pandangannya kosong, dia tak benar-benar melihatku, matanya hampir berkaca-kaca. Aku tak tau apa yang harus kukatakan. “Setertekan itukah kamu, Ndeng?”, batinku. Hatiku terluka melihat Ndeng mulai menyerah. Ku pegang lengan kirinya yang dia letakkan di atas meja. “Kamu kok ngomong gitu sih, Ndeng?”. Ndeng hanya diam. terlihat dari ekspresinya, banyak hal yang sedang melayang di pikirannya sekarang. “Bukannya kamu pengen magang di luar kota? Kamu pengen banget kan magang di Jakarta?”, tanyaku memecah lamunannya. “Iyaa.. Jah. Tapi liat kondisinya sekarang? Waktu udah mepet. Perusahaan masih belum kasi kepastian juga. Aku kudu piye?”. Baru pertama kali aku melihat Ndeng seperti ini. “Ndeng, kita kudu semangat! Kita mesti yakin kita bisa, Ndeng!”. “Tapi ki... hhhh...”, Ndeng menghela nafas. Dia kehabisan kata-kata. “Percaya sama rencana Allah, Ndeng!”, kali ini aku sedikit meremas lengan Ndeng karna gemas melihatnya seperti itu. Ndeng tersenyum melihat aku yang gemas dengan kelakuannya. Aku ikut tersenyum melihatnya. “Akhirnya senyum itu muncul juga. Alhamdulillah.. makasih ya Allah.”, batinku senang. Kurasakan semangatnya mulai muncul lagi. Kami melanjutkan percakapan sambil menikmati hidangan yang sudah diantar di hadapan kami. Ada kejadian lucu sesaat setelah pelayan memberikan pesanan kami. “Mas, ada sendok sama garpu?”, tanya Ndeng. “Itu Mbak”, kata pelayan sambil nunjuk sendok-garpu yang tertata rapi di tempatnya, tepat di hadapan Ndeng. “Ndeng...”, kataku menatap Ndeng menahan geli. “Oh iyo... hahaha”, Ndeng cekikikan sambil mengambil sendok-garpunya. “Apa itu kurang, Mbak?”, ledek pelayan tadi sambil senyum-senyum nahan geli juga, liat tingkah Ndeng. “Nggak.. nggak Mas.”, jawabku sambil ketawa. SROOOKK... Tiba-tiba pelayan tadi memasukkan segenggam penuh sendok-garpu ke tempat yang ada di hadapan aku dan Ndeng. “Ini Mbak”.  Aku dan Ndeng kaget. Tawa kami meledak melihat kelakuan pelayan itu. Hiburan yang sangat menyenangkan disela-sela kegalauan kami. Hahahaha XD.
Kalo tidak salah, Selasa 29 Maret 2016. Aku mendapat kepastian dari perusahaan tujuanku. Tepat sehari, setelah kloter terakhir yang berangkat ke Jakarta memulai magangnya. Bulek memberi kabar bahwa aku harus menandatangani berkas dari perusahaan tujuanku. Alhamdulillah aku sudah diterima. Tapi rasanya ada sesuatu yang mengganjal. “Bagaimana dengan Ndeng, Za, dan Rika?”, tiba-tiba muncul pertanyaan itu dalam benakku. Langsung kukirim pesan singkat pada Ndeng. Aku memberi kabar padanya bahwa aku sudah diterima, sekaligus menanyakan kabar lamaran magangnya. Di antara kami berlima –aku, Ndeng, Gita, Upit, Memei– Allah memilih Ndeng untuk menerima ujian kesabaran yang jauh lebih berat dari kami berempat, dalam menemukan tempat magang yang sudah ditentukan-Nya. Lagi-lagi Ndeng tidak diterima di tempat magang tujuannya yang kedua.
          “Hawane kudu nangis, Jah.. Aku rak ngerti kudu piye meneh.”
Kata Ndeng dalam salah satu pesan singkat yang dia kirim padaku. Kuharap aku bisa ada di sampingnya sekarang. Membantu meredakan sedihnya. “Ya Allah.. tolong hibur sahabatku ini. Berilah petunjuk padanya untuk bertahan dan terus berjuang”. Aku hanya bisa berdoa dari kejauhan. Aku tau Allah punya rencana paling indah.
Akhirnya, Ndeng, Za, dan Rika, diterima di perusahaan pelayanan telepon yang ada di Semarang. “Doamu terkabul, Ndeng”, batinku tak lagi sedih mendapat kabar Ndeng sudah mulai magang. Doa Ndeng di warung waktu itu terkabul, doa tentang magang di Semarang. Ternyata itu yang terbaik buat Ndeng.

Dugaanku dulu ternyata benar. Kami berlima memang “harus” magang di tempat yang berbeda-beda. Aku di Bogor, Upit di Jakarta Selatan, Memei di Jakarta Barat, Gita di Semarang–daerah Tanah Putih, dan Ndeng di Semarang–daerah Tembalang. Meskipun aku belum mengerti sepenuhnya mengapa kami ditakdirkan magang saling terpisah, aku yakin Allah punya rencana yang indah untuk kami setelah kami bertemu kembali. Berkumpul berlima. Melakukan kegilaan yang biasa terjadi ketika kami berlima dikumpulkan dalam satu tempat lagi. Dan menjadi tempat sampah untuk satu sama lain, dengan selalu bersedia menerima curhatan, keluh kesah, dan berbagai hal “nggak penting” lainnya.
Semangat!! untuk 4 sampai 6 bulan ke depan!! (9^o^)9 yosh...

1 komentar: