-Rencana Allah-
3
hari berlalu sudah, sejak Bulek menerima paket proposal dariku. Tak enak hati
sebenarnya, terus-menerus menanyakan tentang kepastian magang pada Bulek setiap
hari. Tapi, seolah tak ada pilihan lain. Tak ada banyak waktu tersisa. Aku dan
Ndeng masih sering bertemu, meskipun kami hanya tinggal menunggu keputusan
perusahaan (untuk kedua kalinya). Bedanya, sekarang kami menunggu keputusan perusahaan yang
berbeda. Memei dan Upit sudah bersiap berangkat ke Jakarta. Sedangkan Gita
sudah sibuk dengan magangnya di Semarang.
Seminggu
lewat juga. Aku dan Ndeng benar-benar pasrah pada Allah. Kurasakan kegelisahan
Ndeng yang masih terus menyelubungi pikiran dan perasaannya. Saat itu kami
berdua makan siang bersama, di warung dekat kampus. Kami saling diam beberapa
menit, sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Sampai akhirnya Ndeng
mengatakan hal yang tak kusangka. “Aku ketompo magang neng Semarang, rakpo
wes Jah.”, katanya sambil melihatku. Seolah memohon padaku dapat
mengabulkan permintaannya tadi. Kutatap matanya. Pandangannya kosong, dia tak
benar-benar melihatku, matanya hampir berkaca-kaca. Aku tak tau apa yang harus
kukatakan. “Setertekan itukah kamu, Ndeng?”, batinku. Hatiku terluka melihat
Ndeng mulai menyerah. Ku pegang lengan kirinya yang dia letakkan di atas meja.
“Kamu kok ngomong gitu sih, Ndeng?”. Ndeng hanya diam. terlihat dari
ekspresinya, banyak hal yang sedang melayang di pikirannya sekarang. “Bukannya
kamu pengen magang di luar kota? Kamu pengen banget kan magang di Jakarta?”,
tanyaku memecah lamunannya. “Iyaa.. Jah. Tapi liat kondisinya sekarang? Waktu
udah mepet. Perusahaan masih belum kasi kepastian juga. Aku kudu piye?”.
Baru pertama kali aku melihat Ndeng seperti ini. “Ndeng, kita kudu
semangat! Kita mesti yakin kita bisa, Ndeng!”. “Tapi ki... hhhh...”,
Ndeng menghela nafas. Dia kehabisan kata-kata. “Percaya sama rencana Allah,
Ndeng!”, kali ini aku sedikit meremas lengan Ndeng karna gemas melihatnya
seperti itu. Ndeng tersenyum melihat aku yang gemas dengan kelakuannya. Aku
ikut tersenyum melihatnya. “Akhirnya senyum itu muncul juga. Alhamdulillah..
makasih ya Allah.”, batinku senang. Kurasakan semangatnya mulai muncul lagi.
Kami melanjutkan percakapan sambil menikmati hidangan yang sudah diantar di
hadapan kami. Ada kejadian lucu sesaat setelah pelayan memberikan pesanan kami.
“Mas, ada sendok sama garpu?”, tanya Ndeng. “Itu Mbak”, kata pelayan sambil
nunjuk sendok-garpu yang tertata rapi di tempatnya, tepat di hadapan Ndeng.
“Ndeng...”, kataku menatap Ndeng menahan geli. “Oh iyo... hahaha”, Ndeng
cekikikan sambil mengambil sendok-garpunya. “Apa itu kurang, Mbak?”, ledek
pelayan tadi sambil senyum-senyum nahan geli juga, liat tingkah Ndeng. “Nggak..
nggak Mas.”, jawabku sambil ketawa. SROOOKK... Tiba-tiba pelayan tadi
memasukkan segenggam penuh sendok-garpu ke tempat yang ada di hadapan aku dan
Ndeng. “Ini Mbak”. Aku dan Ndeng kaget.
Tawa kami meledak melihat kelakuan pelayan itu. Hiburan yang sangat
menyenangkan disela-sela kegalauan kami. Hahahaha XD.
Kalo
tidak salah, Selasa 29 Maret 2016. Aku mendapat kepastian dari perusahaan
tujuanku. Tepat sehari, setelah kloter terakhir yang berangkat ke Jakarta
memulai magangnya. Bulek memberi kabar bahwa aku harus menandatangani berkas
dari perusahaan tujuanku. Alhamdulillah aku sudah diterima. Tapi rasanya ada
sesuatu yang mengganjal. “Bagaimana dengan Ndeng, Za, dan Rika?”, tiba-tiba
muncul pertanyaan itu dalam benakku. Langsung kukirim pesan singkat pada Ndeng.
Aku memberi kabar padanya bahwa aku sudah diterima, sekaligus menanyakan kabar
lamaran magangnya. Di antara kami berlima –aku, Ndeng, Gita, Upit, Memei– Allah
memilih Ndeng untuk menerima ujian kesabaran yang jauh lebih berat dari kami
berempat, dalam menemukan tempat magang yang sudah ditentukan-Nya. Lagi-lagi
Ndeng tidak diterima di tempat magang tujuannya yang kedua.
“Hawane kudu nangis, Jah.. Aku rak
ngerti kudu piye meneh.”
Kata
Ndeng dalam salah satu pesan singkat yang dia kirim padaku. Kuharap aku bisa
ada di sampingnya sekarang. Membantu meredakan sedihnya. “Ya Allah.. tolong
hibur sahabatku ini. Berilah petunjuk padanya untuk bertahan dan terus
berjuang”. Aku hanya bisa berdoa dari kejauhan. Aku tau Allah punya rencana
paling indah.
Akhirnya, Ndeng, Za, dan Rika, diterima di
perusahaan pelayanan telepon yang ada di Semarang. “Doamu terkabul, Ndeng”,
batinku tak lagi sedih mendapat kabar Ndeng sudah mulai magang. Doa Ndeng di
warung waktu itu terkabul, doa tentang magang di Semarang. Ternyata itu yang
terbaik buat Ndeng.
Dugaanku dulu ternyata benar. Kami berlima memang “harus” magang di
tempat yang berbeda-beda. Aku di Bogor, Upit di Jakarta Selatan, Memei di Jakarta
Barat, Gita di Semarang–daerah Tanah Putih, dan Ndeng di Semarang–daerah Tembalang.
Meskipun aku belum mengerti sepenuhnya mengapa kami ditakdirkan magang saling
terpisah, aku yakin Allah punya rencana yang indah untuk kami setelah kami
bertemu kembali. Berkumpul berlima. Melakukan kegilaan yang biasa terjadi
ketika kami berlima dikumpulkan dalam satu tempat lagi. Dan menjadi tempat
sampah untuk satu sama lain, dengan selalu bersedia menerima curhatan, keluh
kesah, dan berbagai hal “nggak penting” lainnya.
Semangat!! untuk 4 sampai 6 bulan ke depan!! (9^o^)9 yosh...
Semangat!! untuk 4 sampai 6 bulan ke depan!! (9^o^)9 yosh...
Huhuhuuuu terharuuuuuu
BalasHapus