Jumat, 10 Juni 2016

CATATAN HATI SEORANG IJAH (#3)

-Alasan Tak Terduga-  

Besoknya, aku, Ndeng, Za, dan Rika janjian ketemu di kampus. Kami berencana memulai mencari tempat magang baru, setelah diinfokan kami tidak diterima di stasiun TV kemarin. Dari info pak Kaprodi juga, kami menghubungi pak Eko yang katanya punya channel di salah satu perusahaan pelayanan telekomunikasi di Jogja dan pak Endro yang katanya (juga) punya kenalan di salah satu stasiun TV lokal di Jawa Timur.
Karna pak Endro belum bisa kami temui, kami memutuskan untuk mencari tempat magang di wilayah sekitar kampus, di daerah Tembalang. Berdasarkan info dari internet, banyak kantor-kantor cabang perusahaan pelayanan telekomunikasi dan internet provider, serta beberapa stasiun TV lokal yang ada di sekitar Tembalang. Tanpa Rika, yang katanya ada keperluan, kami bertiga berangkat berkeliling Tembalang siang itu. Aku berboncengan dengan Za menaiki Vega ZR-ku, sedangkan Ndeng mengendarai Scoopy-nya sendiri. Siang itu cukup terik, slayer yang terbalut menutupi setengah wajah kami, ditambah jaket dan celana panjang, belum cukup menahan hawa panas yang menembus melewati pori-pori kain mengenai kulit kami. Tapi demi menemukan tempat magang baru, sekaligus memenuhi persyaratan kuliah semester 6 ini-M.A.G.A.N.G-kami tak mau menyia-nyiakan waktu yang segera menuju batas akhir pelaksanaan magang.
Pertama, kami menuju ke sebuah perusahaan internet provider yang letaknya dekat GOR Jatidiri. Gita yang memberi saran pada kami untuk mencoba menanyakan peluang magang di perusahaan itu, karna perusahaan tersebut memang sering menerima peserta magang dan cocok dengan Prodi kami. Kami sempat tersesat karna salah belok XD hihihi. Tapi tak lama, akhirnya kami temukan perusahaan yang dimaksud. Di depan perusahaan, aku, Ndeng, dan Za ragu. “Apakah benar ini perusahaannya?”, tanya Za. “Iya? Bentuknya kok kayak rumah biasa gitu ya?”, Ndeng ikut-ikutan bingung. Kami cengengesan beberapa menit, sampai akhirnya kami memutuskan untuk bertanya pada beberapa orang yang sedang mengobrol di depan sebuah Rumah 2 lantai yang pintunya tertutup rapat, tapi gerbang putihnya terbuka dengan halaman yang tidak terlalu luas yang difungsikan sebagai tempat parkir 1 mobil perusahaan dan beberapa motor karyawan. “iya.. betul mbak.. masuk aja, langsung masuk. Parkirnya di dalam saja.” kata salah seorang bapak-bapak sambil manggut-manggut. Kami yang membuka kaca helm dan slayer yang menutup setengah muka kami tadi, ikutan manggut-manggut. “Oh ya... makasih ya pak”, jawab kami nyaris bersamaan sambil menyungging senyum. Kami pun masuk dan memarkir motor kami di tempat parkir yang nyaris penuh.
Helm kami lepas dan diletakkan bergantung pada spion kanan. Jaket kulepas, kusimpan di lengan kanan. Setelah merapikan pakaian, kami berjalan melewati jalan setapak yang pendek ditengah rumput hijau, kira-kira 3 langkah dari puntu masuk. Kami mengetuk pintu berwarna coklat tua, warna yang membuatnya terlihat kokoh, dihiasi lonceng di sudut kanan atas. Tak lama, terdengar suara laki-laki dari dalam, “Ya, silahkan masuk!”. Sambil memasang wajah ramah dengan senyuman, laki-laki tadi yang tak lain adalah satpam perusahaan itu, melipat koran yang dibacanya dan bertanya pada kami dengan pertanyaan klasik. “Ada yang bisa saya bantu?”. “Euh.. kami mau bertanya tentang magang di perusahaan ini. Apakah masih ada lowongan untuk peserta magang atau tidak?”, aku mulai angkat bicara. “Oh ya.. tunggu sebentar ya. Silahkan duduk dulu.”, jawab pak satpam sambil beranjak dari tempat duduknya dan melangkah ke dalam, sepertinya ke lantai 2. Kamipun berbalik dari meja resepsionis untuk duduk dan menunggu. Kami terdiam dan sama-sama memandang “apa” yang ada di hadapan kami. Kemudian kami saling pandang dan tertawa kecil, Za nyeletuk, “Lah.. kursine loro tok”, khas dengan aksen jawanya. Memang hanya ada 2 kursi di antara meja dengan hiasan vas bunga di atasnya. Akhirnya, aku dan Za yang berukuran “mini” duduk bersama di satu kursi. Sedangkan Ndeng duduk di kursi satunya.
Sekitar 5 menit lebih kami menunggu. Keadaan di kantor itu cukup sepi. Dari ruang tunggu, terlihat banyak yang sedang meninggalkan kursi dan meja kerjanya. Mungkin karna sekarang hampir menjelang jam istirahat makan siang. Pak satpam turun dan kembali ke meja resepsionisnya, “Tunggu sebentar ya mbak, sebentar lagi ibunya turun.”. “Ya, pak”, jawab kami sambil menganggukkan kepala. Tak lama kemudian, turun seorang ibu-ibu yang langsung mempersilahkan kami untuk masuk ke sebuah ruang kecil lainnya yang sepertinya digunakan untuk diskusi perusahaan. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan kami berkunjung, serta menjelaskan, dan menanyakan beberapa hal tentang magang. Ibu itu pun menjawab dengan singkat. Jawaban yang sama sekali tak kami duga sebelumnya. “Maaf, kami tidak menerima peserta magang perempuan.”. Tanpa sedikitpun perasaan bersalah, ibu itu menjelaskan alasannya yang intinya yaitu kalo yang magang cewe bakal susah disuruh kerja lapangan. Alasan yang jelas tidak bisa kami bertiga terima. Kami berusaha menjelaskan pengalaman kami dan kegiatan di kampus yang sudah melatih kami untuk bisa menjadi teknisi lapangan, meskipun kami C.E.W.E. Tapi belum selesai kami menjelaskan, ibu itu langsung memotong omongan kami dan mengulang perkataannya lagi, “Di sini nggak nerima magang cewe.”. Kulihat muka ibu itu terlihat mulai malas meladeni kami. Akhirnya kami menyerah untuk berbicara lebih panjang. Karna kesal, “Oh ya.. makasih ya bu”, kataku dengan senyum kecut sambil menyodorkan tangan bermaksud bersalaman untuk pamit dan beranjak dari kursiku, diikuti Za dan Ndeng. Saat melangkah keluar ruangan itu, tiba-tiba ibu itu minta maaf karna tidak bisa menerima kami. “hhhh... pasti cuma formalitas. Biar kelihatan sopan”, batinku ketus. Kami hanya membalas dengan senyuman dan segera keluar dari perusahaan itu.
“Apa-apaan?? Karna kita cewe??”, kata Za bersungut. Kami sempat memperdebatkan itu dengan sedikit berbisik-bisik kesal beberapa menit di tempat parkir perusahaan, sambil memakai kembali jaket, slayer, dan helm kami, berniat untuk berkeliling lagi menuju perusahaan lainnya. Sepanjang perjalanan, aku terus saja memikirkan yang baru saja terjadi. Aku masih tak habis pikir dengan ucapan ibu tadi. “Alasan macam apa itu?? Sekarang kan udah jaman emansipasi. Dan.. halooo buu.. njenengan kan yo nggeh wedok”, batinku masih saja kesal. Aku begitu kesal, sampai tak ada alasan untuk ber-positive thinking. Hanya bisa ber-Istighfar ketika mengingat kejadian itu. Kami benar-benar berkeliling menyusuri setiap perusahaan yang berhubungan dengan telekomunikasi di Tembalang siang itu. Berharap tiba-tiba muncul kejaiban. Tapi, yahhh... namanya juga belum rejeki. Walaupun udah panas-panasan, naik, turun, naik lagi, muter sana, belok sini, tetep aja hasilnya nihil. Akhirnya kami beristirahat di masjid Al-Azhar sekalian sholat zuhur. Kami bertiga janjian sama Upit dan Memei yang baru saja menyerviskan laptop Upit untuk bertemu di masjid Al-Azhar, sebelum kembali ke kampus.
Sekembalinya di kampus, mood ku tak kunjung membaik. Membawaku terseret ke ingatan hari kemarin. Kemarin, setelah keluar ruangan, setelah pemberitahuan dari pak Kaprodi, aku, Ndeng, dan Za kebetulan bertemu pak Eko yang terlihat menuju kantin depan Lab Telkom Barat. Kamipun berhambur menghampiri beliau, berharap bisa membantu melancarkan langkah kami untuk magang. “Benar-benar dosen ini...”, batinku mulai jengkel. Aku baru sadar kalo pak Eko memang bukan karakter orang yang senantiasa langsung mau membantu orang lain untuk menyelesaikan masalah. Beliau selalu saja mengetes dan melihat seberapa besar effort kita untuk mendapatkan sesuatu. Memang bagus sih.. tapi kurasa hal tersebut kurang tepat untuk diterapkan pada 3 orang yang sedang down mentalnya karna baru saja mendapat penolakan magang 2 minggu sebelum hari-H. Masih jelas tergambar di benakku, bagaimana cara pak Eko merespon kami bertiga. Beliau benar-benar terlihat ogah-ogahan mendengarkan apalagi meladeni kami. Setiap kami berusaha menjelaskan keadaan kami, beliau terus berusaha mondar-mandir menyibukkan diri kesana-kemari dengan langkahnya yang panjang dan cepat. Sekalinya menanggapi, eh malah bahas Jess (Jess adalah teman sekelas kami yang bisa dibilang cukup akrab dengan pak Eko, tapi sekarang dia sudah pindah ke Bangka). Sikap pak Eko yang terus-menerus seperti itu sampai hampir 10 menit berhasil membuat kami semakin merasa frustasi. Za yang saat itu duduk di kursi depan Lab Telkom Barat, seketika langsung menunduk dan menenggelamkan wajahnya di atas lipatan tangannya. Rambutnya yang lurus sebahu menutupi sebagian tangannya. Ndeng hanya bisa berdiri mematung sambil menunduk lesu. Sedangkan aku.. hhhh.. aku menghela nafas dan berusaha memalingkan wajahku dari pak Eko, berusaha tidak memikirkan hal buruk tentang pak Eko. Akhirnya pak Eko menangkap kegelisahan kami. Respon beliau mulai nyambung dengan apa yang kami keluhkan tadi. Kemudian, sambil berdiri dari deretan kursi di depan Lab Telkom Barat dan berlalu menuju ruang Kaprodi, beliau berkata, “Kalo mau, Senin kumpulkan proposal lengkap ke saya.”.
Lamunanku tentang pak Eko terhenti ketika pak Edi menghampiri kami. Sebelumnya kami memang bertanya pada pak Edi lewat WA, apakah punya referensi magang atau tidak. “Eu.. coba hubungi pak Eko ya. Pak Eko punya banyak referensi.”, kata pak Edi dengan gaya bicara khasnya yang lucu, ramah, dan sopan. Sepertinya karna terburu-buru, pak Edi langsung meninggalkan kami. Hal yang sama sekali tak kuduga adalah, Ndeng langsung menggerutu saat mendengar jawaban pak Edi. “Pak Eko meneh?!”, ucapnya pelan. Sepertinya dia refleks mengucapkan itu, mungkin dia juga teringat kejadian kemarin. Hahaha Ndeng bikin geli, sempet-sempetnya ngelawak di saat seperti ini. Tak berhenti di situ, Ndeng membuka pesan WA dari Gita yang baru saja masuk. Tulisannya, “Coba tanya pak Eko, Ndeng”. “Halah!..”, gerutu Ndeng lagi. Aku tak kuat menahan tawa. Pasalnya, Ndeng adalah tipe orang yang sangat fleksibel dan tenang, apa-apa “luweh”. Tapi kali ini, sepertinya aku menemukan satu sisi Ndeng yang lain. Wkwkwk XD. “Sabar Ndeng..”, kataku cekikikan sambil menyenggol Ndeng yang hanya merespon dengan tawa kecil.
Tak berhasil lewat cara mendatangi langsung perusahaan di sekitar Tembalang maupun bertanya referensi pada dosen, kami memutuskan untuk berusaha mencari peluang dengan bertanya pada sanak keluarga kami masing-masing tentang lowongan magang untuk D4 Teknik Telekomunikasi. Hari berlalu begitu cepat, sudah hari Jumat saja sekarang. Sisa 1 minggu lagi, teman-teman kloter paling terakhir akan segera berangkat dan memulai magang mereka. Sedangkan kami masih berkutat dalam pencarian tempat magang. Sampai akhirnya Ndeng memutuskan untuk mendaftarkan diri ke sebuah perusahaan di Jakarta, berdasarkan rekomendasi seorang dosen yang memiliki mahasiswa yang bekerja di perusahaan tersebut.
“Jah, aku mau daftar ke perusahaan ini aja deh. Udah mepet juga waktunya.”
“Yaudah deh, aku juga.”
“Oke. Berarti ini aku bikin surat rekomendasi kampusnya, buat aku, kamu, Rika, sama Za. Nanti aku ke kampus sekitar jam 9.”
“Oke, makasi ya Ndeng. Nanti aku nyusul bareng Za.”
Sebelum berangkat ke kampus, aku memberitahu Ibu kalo aku sudah mau mendaftar ke sebuah perusahaan rekomendasi dosen tadi. Lalu Ibu mengingatkan kalo aku masih harus menunggu kabar dari Bulek, karna Bulek sudah susah payah mengusahakan mencari informasi magang untukku, di tengah kegiatannya yang super padat. Perasaanku langsung tak menentu. Tadi aku sudah terlanjur menyanggupi Ndeng untuk mendaftar bersama, tapi aku masih harus menunggu kabar dari Bulek. Pilihannya adalah, mendaftar segera bersama Ndeng, Za, dan Rika. Atau sendirian mendaftar belakangan, menunggu kabar dari Bulek. “Ya Allah, sungguh aku sama sekali tidak mengetahui mana yang terbaik untukku. Aku tahu Kau punya rencana yang indah, tapi  dari mana aku tahu aku sudah berada di jalur rencana-Mu atau belum?”, batinku terasa sesak. Aku harus mempertimbangkan dengan baik pilihan ini. Waktuku hanya selama perjalanan dari rumah ke kampus, untuk memutuskan apa yang harus ku lakukan. Langsung mendaftar, atau menunggu dulu. Sesampainya di kampus, aku terus berusaha menghubungi Bulek yang tak kunjung merespon. “Mungkin sedang sibuk”, pikirku. “Gimana, Jah? Selak awan ki.”, Ndeng memecah lamunanku. “Bismillah..”, batinku. “Udah, tinggal aja Ndeng. Aku mau nunggu kabar dari Bulekku dulu aja. Kalian daftar dulu aja bertiga. Kalo nanti ternyata yang di kenalan Bulekku nggak bisa, aku ikut daftar bareng kalian. Biar nanti aku yang urus ulang surat rekomendasinya buat kita.”, jelasku panjang lebar setelah berhasil memutuskan kegalauanku tadi.
Sebenarnya aku sangat gelisah harus menunggu sendiri. Melihat Ndeng baru saja turun dari gedung SB lantai 2 untuk mengantrikan surat rekomendasi agar ditandatangani pak Kajur, membuatku semakin cemas. Akupun mengecek hape yang daritadi kuletakkan disaku jaket yang ku tinggal di bangku kedua, sebelah kanan dari bangkuku duduk sekarang. Ada sms, semoga bukan dari operator seluler. Karna aku sering sekali mendapat pesan dari operator seluler. Ku tekan tombol untuk membuka pesan. Ternyata dari Bulek!! Segera kubaca dengan hati-hati, sebenarnya aku takut untuk berharap lebih. Karena takut kecewa sama seperti beberapa hari belakangan akibat permasalahan magang. Di pesan itu tertulis,
“Iya nok, bisa. Langsung bikin proposal lengkap aja untuk perusahaan yang ada di Pajajaran. Kirimnya ke rumah Bulek aja, lewat JNE yang kilat. Nanti Bulek titipkan ke tetangga Bulek yang kerja di perusahaan penyedia layanan telepon itu.”
“SUBHANALLAAH...”, aku bergumam senang. Gembiraku tak terbendung, aku langsung menghampiri Ndeng yang berjalan ke arahku. “Alhamdulillah Ndeng... bulekku udah bales. Sekarang aku perlu segera nyusun proposal lengkap buat tak kirim ke bulekku”, aku berkata sambil mencengkeram lengan baju Ndeng dengan tawa yang akhirnya bisa menghiasi wajahku. “Alhamdulillah jah... mau aku temenin siapin proposalnya?”, kata Ndeng sambil senyum. Aku  membalasnya dengan anggukan bersemangat. Wajahku yang berbinar-binar saat itu, saling berpandangan dengan Ndeng sesaat. Mengisyaratkan, “Akhirnya kita berhasil lolos dari ujian pertama kita. Ujian kedua kita adalah menunggu pengumuman dari perusahaan. Dan ujian ketiganya adalah proses magang. Semoga kita berhasil !!”. Aku segera membereskan barangku yang berserakan di bangku depan Lab Telkom Barat. Kemudian aku ditemani Ndeng, bergegas menuju gazebo SA untuk mempersiapkan semua berkas yang perlu aku urus di kampus untuk kemudian kukirim ke Bulek secepat mungkin.
Sesampainya di gazebo SA, langsung kukeluarkan laptopku. Kupencet tombol powernya. Kutancapkan charger-nya. Dan langsung kujelajahi file-file dalam folder khusus magang yang telah kubuat. Kupilih berkas-berkas yang perlu kucetak, Surat Lamaran Magang, Surat Rekomendasi dari Kampus, Proposal Magang, CV, dan Lampiran Transkrip Nilai. Setelah selesai menyiapkan semua file, aku langsung mencetaknya dan mengantrikan Surat Rekomendasi Kampus di SB lantai 2, di depan ruang Kajur. Tak terasa, hari sudah sore. Aku dan Ndeng pun beristirahat sebentar di depan Lab Telkom Barat yang sudah sepi, setelah seharian berlarian kesana-kemari, mengurus berkas-berkas magang kami. Kami berdua bercakap-cakap riang. Sambil sesekali menertawakan obrolan kami. Tiba-tiba pak Thomas keluar dari Ruang Kaprodi, dan menghampiri kami yang asyik bercanda berdua. Kami menganggukkan kepala dan tersenyum pada pak Thomas. Pak Thomas berjalan ke arah kami. Setelan kemeja dan celana kain yang terlihat gombrong menjadi gaya khas pak Thomas yang kurus dengan rambut ikal. Kacamata dan kumis menghiasi wajahnya yang lumayan terlihat garang. Yah... pak Thomas dinobatkan menjadi anggota dalam jajaran “Tiga Dosen Killer” prodi Teknik Telekomunikasi, bersama pak Sarono dan pak Arif oleh kakak-kakak kelas. Hihihi :D. “Nah ngono.. ngguyu.. ojo mrengut wae.”, sindir pak Thomas yang beberapa hari terakhir selalu berusaha memantau perkembangan magang kami, dan menghibur kami dengan rutin mengajak ngobrol kami setiap kami berkunjung ke kampus untuk menyelesaikan urusan magang. “Hehehe.. iya pak”, jawabku cengengesan. “Gimana? Jadinya kalian daftar ke mana?”, tanya pak Thomas seraya duduk di deretan bangku di sebelah kami. “Saya di perusahaan rekomendasi pak Suhe, pak”. “Saya di perusahaan layanan telepon di Bogor”, jawab Ndeng dan aku berurutan. “Sudah pasti diterima?”, tanya pak Thomas lagi. “Belum tau, pak. Nunggu pemberitahuan dari perusahaannya dulu.”, jawab kami ragu-ragu. “Lah.. waktunya udah mepet lho”. “Hehe iya, pak”, jawaban kami, kali ini disertai ekspresi yang mulai galau (lagi). Setelah itu pak Thomas berdiri dan pergi meninggalkan kami. Sebelum pergi, pak Thomas menyemangati kami. Sayangnya, aku tak ingat apa yang dikatakan pak Thomas. Tapi inti omongan pak Thomas, beliau meyakinkan kami kalo kami akan diterima di perusahaan tujuan kami masing-masing. “Makasih pak Thomas”, batinku sambil menatap punggung beliau yang berlalu dari hadapan kami. Akhirnya, aku dan Ndeng pulang dengan perasaan sedikit lega, karna berhasil melangkah lebih jauh dari hari kemarin. Fiuhhhh... ^~^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar