-Alasan Tak Terduga-
Besoknya,
aku, Ndeng, Za, dan Rika janjian ketemu di kampus. Kami berencana memulai
mencari tempat magang baru, setelah diinfokan kami tidak diterima di stasiun TV
kemarin. Dari info pak Kaprodi juga, kami menghubungi pak Eko yang katanya
punya channel di salah satu perusahaan pelayanan telekomunikasi di Jogja
dan pak Endro yang katanya (juga) punya kenalan di salah satu stasiun TV lokal
di Jawa Timur.
Karna
pak Endro belum bisa kami temui, kami memutuskan untuk mencari tempat magang di
wilayah sekitar kampus, di daerah Tembalang. Berdasarkan info dari internet,
banyak kantor-kantor cabang perusahaan pelayanan telekomunikasi dan internet
provider, serta beberapa stasiun TV lokal yang ada di sekitar Tembalang. Tanpa
Rika, yang katanya ada keperluan, kami bertiga berangkat berkeliling Tembalang
siang itu. Aku berboncengan dengan Za menaiki Vega ZR-ku, sedangkan Ndeng
mengendarai Scoopy-nya sendiri. Siang itu cukup terik, slayer yang terbalut
menutupi setengah wajah kami, ditambah jaket dan celana panjang, belum cukup
menahan hawa panas yang menembus melewati pori-pori kain mengenai kulit kami.
Tapi demi menemukan tempat magang baru, sekaligus memenuhi persyaratan kuliah
semester 6 ini-M.A.G.A.N.G-kami tak mau menyia-nyiakan waktu yang segera menuju
batas akhir pelaksanaan magang.
Pertama,
kami menuju ke sebuah perusahaan internet provider yang letaknya dekat GOR
Jatidiri. Gita yang memberi saran pada kami untuk mencoba menanyakan peluang
magang di perusahaan itu, karna perusahaan tersebut memang sering menerima
peserta magang dan cocok dengan Prodi kami. Kami sempat tersesat karna salah belok
XD hihihi. Tapi tak lama, akhirnya kami temukan perusahaan yang dimaksud. Di
depan perusahaan, aku, Ndeng, dan Za ragu. “Apakah benar ini perusahaannya?”,
tanya Za. “Iya? Bentuknya kok kayak rumah biasa gitu ya?”, Ndeng ikut-ikutan
bingung. Kami cengengesan beberapa menit, sampai akhirnya kami memutuskan untuk
bertanya pada beberapa orang yang sedang mengobrol di depan sebuah Rumah 2
lantai yang pintunya tertutup rapat, tapi gerbang putihnya terbuka dengan
halaman yang tidak terlalu luas yang difungsikan sebagai tempat parkir 1 mobil
perusahaan dan beberapa motor karyawan. “iya.. betul mbak.. masuk aja, langsung
masuk. Parkirnya di dalam saja.” kata salah seorang bapak-bapak sambil
manggut-manggut. Kami yang membuka kaca helm dan slayer yang menutup setengah
muka kami tadi, ikutan manggut-manggut. “Oh ya... makasih ya pak”, jawab kami
nyaris bersamaan sambil menyungging senyum. Kami pun masuk dan memarkir motor
kami di tempat parkir yang nyaris penuh.
Helm
kami lepas dan diletakkan bergantung pada spion kanan. Jaket kulepas, kusimpan
di lengan kanan. Setelah merapikan pakaian, kami berjalan melewati jalan
setapak yang pendek ditengah rumput hijau, kira-kira 3 langkah dari puntu
masuk. Kami mengetuk pintu berwarna coklat tua, warna yang membuatnya terlihat
kokoh, dihiasi lonceng di sudut kanan atas. Tak lama, terdengar suara laki-laki
dari dalam, “Ya, silahkan masuk!”. Sambil memasang wajah ramah dengan senyuman,
laki-laki tadi yang tak lain adalah satpam perusahaan itu, melipat koran yang
dibacanya dan bertanya pada kami dengan pertanyaan klasik. “Ada yang bisa saya
bantu?”. “Euh.. kami mau bertanya tentang magang di perusahaan ini. Apakah
masih ada lowongan untuk peserta magang atau tidak?”, aku mulai angkat bicara.
“Oh ya.. tunggu sebentar ya. Silahkan duduk dulu.”, jawab pak satpam sambil
beranjak dari tempat duduknya dan melangkah ke dalam, sepertinya ke lantai 2.
Kamipun berbalik dari meja resepsionis untuk duduk dan menunggu. Kami terdiam
dan sama-sama memandang “apa” yang ada di hadapan kami. Kemudian kami saling pandang
dan tertawa kecil, Za nyeletuk, “Lah.. kursine loro tok”, khas dengan
aksen jawanya. Memang hanya ada 2 kursi di antara meja dengan hiasan vas bunga
di atasnya. Akhirnya, aku dan Za yang berukuran “mini” duduk bersama di satu kursi.
Sedangkan Ndeng duduk di kursi satunya.
Sekitar
5 menit lebih kami menunggu. Keadaan di kantor itu cukup sepi. Dari ruang
tunggu, terlihat banyak yang sedang meninggalkan kursi dan meja kerjanya.
Mungkin karna sekarang hampir menjelang jam istirahat makan siang. Pak satpam
turun dan kembali ke meja resepsionisnya, “Tunggu sebentar ya mbak, sebentar
lagi ibunya turun.”. “Ya, pak”, jawab kami sambil menganggukkan kepala. Tak
lama kemudian, turun seorang ibu-ibu yang langsung mempersilahkan kami untuk
masuk ke sebuah ruang kecil lainnya yang sepertinya digunakan untuk diskusi
perusahaan. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan kami berkunjung, serta
menjelaskan, dan menanyakan beberapa hal tentang magang. Ibu itu pun menjawab
dengan singkat. Jawaban yang sama sekali tak kami duga sebelumnya. “Maaf, kami
tidak menerima peserta magang perempuan.”. Tanpa sedikitpun perasaan bersalah,
ibu itu menjelaskan alasannya yang intinya yaitu kalo yang magang cewe bakal
susah disuruh kerja lapangan. Alasan yang jelas tidak bisa kami bertiga terima.
Kami berusaha menjelaskan pengalaman kami dan kegiatan di kampus yang sudah
melatih kami untuk bisa menjadi teknisi lapangan, meskipun kami C.E.W.E. Tapi
belum selesai kami menjelaskan, ibu itu langsung memotong omongan kami dan
mengulang perkataannya lagi, “Di sini nggak nerima magang cewe.”. Kulihat muka
ibu itu terlihat mulai malas meladeni kami. Akhirnya kami menyerah untuk
berbicara lebih panjang. Karna kesal, “Oh ya.. makasih ya bu”, kataku dengan
senyum kecut sambil menyodorkan tangan bermaksud bersalaman untuk pamit dan
beranjak dari kursiku, diikuti Za dan Ndeng. Saat melangkah keluar ruangan itu,
tiba-tiba ibu itu minta maaf karna tidak bisa menerima kami. “hhhh... pasti
cuma formalitas. Biar kelihatan sopan”, batinku ketus. Kami hanya membalas
dengan senyuman dan segera keluar dari perusahaan itu.
“Apa-apaan??
Karna kita cewe??”, kata Za bersungut. Kami sempat memperdebatkan itu dengan
sedikit berbisik-bisik kesal beberapa menit di tempat parkir perusahaan, sambil
memakai kembali jaket, slayer, dan helm kami, berniat untuk berkeliling lagi
menuju perusahaan lainnya. Sepanjang perjalanan, aku terus saja memikirkan yang
baru saja terjadi. Aku masih tak habis pikir dengan ucapan ibu tadi. “Alasan
macam apa itu?? Sekarang kan udah jaman emansipasi. Dan.. halooo buu.. njenengan
kan yo nggeh wedok”, batinku masih saja kesal. Aku begitu kesal, sampai tak
ada alasan untuk ber-positive thinking. Hanya bisa ber-Istighfar ketika
mengingat kejadian itu. Kami benar-benar berkeliling menyusuri setiap
perusahaan yang berhubungan dengan telekomunikasi di Tembalang siang itu.
Berharap tiba-tiba muncul kejaiban. Tapi, yahhh... namanya juga belum rejeki.
Walaupun udah panas-panasan, naik, turun, naik lagi, muter sana, belok sini,
tetep aja hasilnya nihil. Akhirnya kami beristirahat di masjid Al-Azhar
sekalian sholat zuhur. Kami bertiga janjian sama Upit dan Memei yang baru saja
menyerviskan laptop Upit untuk bertemu di masjid Al-Azhar, sebelum kembali ke
kampus.
Sekembalinya
di kampus, mood ku tak kunjung membaik. Membawaku terseret ke ingatan
hari kemarin. Kemarin, setelah keluar ruangan, setelah pemberitahuan dari pak
Kaprodi, aku, Ndeng, dan Za kebetulan bertemu pak Eko yang terlihat menuju
kantin depan Lab Telkom Barat. Kamipun berhambur menghampiri beliau, berharap
bisa membantu melancarkan langkah kami untuk magang. “Benar-benar dosen
ini...”, batinku mulai jengkel. Aku baru sadar kalo pak Eko memang bukan
karakter orang yang senantiasa langsung mau membantu orang lain untuk
menyelesaikan masalah. Beliau selalu saja mengetes dan melihat seberapa besar effort
kita untuk mendapatkan sesuatu. Memang bagus sih.. tapi kurasa hal tersebut
kurang tepat untuk diterapkan pada 3 orang yang sedang down mentalnya
karna baru saja mendapat penolakan magang 2 minggu sebelum hari-H. Masih jelas
tergambar di benakku, bagaimana cara pak Eko merespon kami bertiga. Beliau
benar-benar terlihat ogah-ogahan mendengarkan apalagi meladeni kami.
Setiap kami berusaha menjelaskan keadaan kami, beliau terus berusaha
mondar-mandir menyibukkan diri kesana-kemari dengan langkahnya yang panjang dan
cepat. Sekalinya menanggapi, eh malah bahas Jess (Jess adalah teman sekelas
kami yang bisa dibilang cukup akrab dengan pak Eko, tapi sekarang dia sudah
pindah ke Bangka). Sikap pak Eko yang terus-menerus seperti itu sampai hampir
10 menit berhasil membuat kami semakin merasa frustasi. Za yang saat itu duduk
di kursi depan Lab Telkom Barat, seketika langsung menunduk dan menenggelamkan wajahnya
di atas lipatan tangannya. Rambutnya yang lurus sebahu menutupi sebagian
tangannya. Ndeng hanya bisa berdiri mematung sambil menunduk lesu. Sedangkan
aku.. hhhh.. aku menghela nafas dan berusaha memalingkan wajahku dari pak Eko,
berusaha tidak memikirkan hal buruk tentang pak Eko. Akhirnya pak Eko menangkap
kegelisahan kami. Respon beliau mulai nyambung dengan apa yang kami keluhkan
tadi. Kemudian, sambil berdiri dari deretan kursi di depan Lab Telkom Barat dan
berlalu menuju ruang Kaprodi, beliau berkata, “Kalo mau, Senin kumpulkan
proposal lengkap ke saya.”.
Lamunanku
tentang pak Eko terhenti ketika pak Edi menghampiri kami. Sebelumnya kami
memang bertanya pada pak Edi lewat WA, apakah punya referensi magang atau
tidak. “Eu.. coba hubungi pak Eko ya. Pak Eko punya banyak referensi.”, kata
pak Edi dengan gaya bicara khasnya yang lucu, ramah, dan sopan. Sepertinya
karna terburu-buru, pak Edi langsung meninggalkan kami. Hal yang sama sekali
tak kuduga adalah, Ndeng langsung menggerutu saat mendengar jawaban pak Edi.
“Pak Eko meneh?!”, ucapnya pelan. Sepertinya dia refleks mengucapkan
itu, mungkin dia juga teringat kejadian kemarin. Hahaha Ndeng bikin geli,
sempet-sempetnya ngelawak di saat seperti ini. Tak berhenti di situ, Ndeng
membuka pesan WA dari Gita yang baru saja masuk. Tulisannya, “Coba tanya pak
Eko, Ndeng”. “Halah!..”, gerutu Ndeng lagi. Aku tak kuat menahan tawa.
Pasalnya, Ndeng adalah tipe orang yang sangat fleksibel dan tenang, apa-apa “luweh”.
Tapi kali ini, sepertinya aku menemukan satu sisi Ndeng yang lain. Wkwkwk XD.
“Sabar Ndeng..”, kataku cekikikan sambil menyenggol Ndeng yang hanya merespon
dengan tawa kecil.
Tak
berhasil lewat cara mendatangi langsung perusahaan di sekitar Tembalang maupun
bertanya referensi pada dosen, kami memutuskan untuk berusaha mencari peluang
dengan bertanya pada sanak keluarga kami masing-masing tentang lowongan magang
untuk D4 Teknik Telekomunikasi. Hari berlalu begitu cepat, sudah hari Jumat
saja sekarang. Sisa 1 minggu lagi, teman-teman kloter paling terakhir akan segera
berangkat dan memulai magang mereka. Sedangkan kami masih berkutat dalam
pencarian tempat magang. Sampai akhirnya Ndeng memutuskan untuk mendaftarkan
diri ke sebuah perusahaan di Jakarta, berdasarkan rekomendasi seorang dosen
yang memiliki mahasiswa yang bekerja di perusahaan tersebut.
“Jah,
aku mau daftar ke perusahaan ini aja deh. Udah mepet juga waktunya.”
“Yaudah
deh, aku juga.”
“Oke.
Berarti ini aku bikin surat rekomendasi kampusnya, buat aku, kamu, Rika, sama
Za. Nanti aku ke kampus sekitar jam 9.”
“Oke,
makasi ya Ndeng. Nanti aku nyusul bareng Za.”
Sebelum
berangkat ke kampus, aku memberitahu Ibu kalo aku sudah mau mendaftar ke sebuah
perusahaan rekomendasi dosen tadi. Lalu Ibu mengingatkan kalo aku masih harus
menunggu kabar dari Bulek, karna Bulek sudah susah payah mengusahakan mencari
informasi magang untukku, di tengah kegiatannya yang super padat. Perasaanku
langsung tak menentu. Tadi aku sudah terlanjur menyanggupi Ndeng untuk
mendaftar bersama, tapi aku masih harus menunggu kabar dari Bulek. Pilihannya
adalah, mendaftar segera bersama Ndeng, Za, dan Rika. Atau sendirian mendaftar
belakangan, menunggu kabar dari Bulek. “Ya Allah, sungguh aku sama sekali tidak
mengetahui mana yang terbaik untukku. Aku tahu Kau punya rencana yang indah,
tapi dari mana aku tahu aku sudah berada
di jalur rencana-Mu atau belum?”, batinku terasa sesak. Aku harus mempertimbangkan
dengan baik pilihan ini. Waktuku hanya selama perjalanan dari rumah ke kampus,
untuk memutuskan apa yang harus ku lakukan. Langsung mendaftar, atau menunggu
dulu. Sesampainya di kampus, aku terus berusaha menghubungi Bulek yang tak
kunjung merespon. “Mungkin sedang sibuk”, pikirku. “Gimana, Jah? Selak awan
ki.”, Ndeng memecah lamunanku. “Bismillah..”, batinku. “Udah,
tinggal aja Ndeng. Aku mau nunggu kabar dari Bulekku dulu aja. Kalian daftar
dulu aja bertiga. Kalo nanti ternyata yang di kenalan Bulekku nggak bisa, aku
ikut daftar bareng kalian. Biar nanti aku yang urus ulang surat rekomendasinya
buat kita.”, jelasku panjang lebar setelah berhasil memutuskan kegalauanku
tadi.
Sebenarnya
aku sangat gelisah harus menunggu sendiri. Melihat Ndeng baru saja turun dari
gedung SB lantai 2 untuk mengantrikan surat rekomendasi agar ditandatangani pak
Kajur, membuatku semakin cemas. Akupun mengecek hape yang daritadi kuletakkan
disaku jaket yang ku tinggal di bangku kedua, sebelah kanan dari bangkuku duduk
sekarang. Ada sms, semoga bukan dari operator seluler. Karna aku sering sekali
mendapat pesan dari operator seluler. Ku tekan tombol untuk membuka pesan.
Ternyata dari Bulek!! Segera kubaca dengan hati-hati, sebenarnya aku takut
untuk berharap lebih. Karena takut kecewa sama seperti beberapa hari belakangan
akibat permasalahan magang. Di pesan itu tertulis,
“Iya nok, bisa. Langsung bikin
proposal lengkap aja untuk perusahaan yang ada di Pajajaran. Kirimnya ke rumah
Bulek aja, lewat JNE yang kilat. Nanti Bulek titipkan ke tetangga Bulek yang
kerja di perusahaan penyedia layanan telepon itu.”
“SUBHANALLAAH...”,
aku bergumam senang. Gembiraku tak terbendung, aku langsung menghampiri Ndeng
yang berjalan ke arahku. “Alhamdulillah Ndeng... bulekku udah bales. Sekarang
aku perlu segera nyusun proposal lengkap buat tak kirim ke bulekku”, aku
berkata sambil mencengkeram lengan baju Ndeng dengan tawa yang akhirnya bisa
menghiasi wajahku. “Alhamdulillah jah... mau aku temenin siapin proposalnya?”,
kata Ndeng sambil senyum. Aku
membalasnya dengan anggukan bersemangat. Wajahku yang berbinar-binar
saat itu, saling berpandangan dengan Ndeng sesaat. Mengisyaratkan, “Akhirnya kita
berhasil lolos dari ujian pertama kita. Ujian kedua kita adalah menunggu
pengumuman dari perusahaan. Dan ujian ketiganya adalah proses magang. Semoga
kita berhasil !!”. Aku segera membereskan barangku yang berserakan di bangku
depan Lab Telkom Barat. Kemudian aku ditemani Ndeng, bergegas menuju gazebo SA
untuk mempersiapkan semua berkas yang perlu aku urus di kampus untuk kemudian
kukirim ke Bulek secepat mungkin.
Sesampainya di gazebo SA, langsung kukeluarkan
laptopku. Kupencet tombol powernya. Kutancapkan charger-nya. Dan
langsung kujelajahi file-file dalam folder khusus magang yang telah kubuat.
Kupilih berkas-berkas yang perlu kucetak, Surat Lamaran Magang, Surat
Rekomendasi dari Kampus, Proposal Magang, CV, dan Lampiran Transkrip Nilai.
Setelah selesai menyiapkan semua file, aku langsung mencetaknya dan
mengantrikan Surat Rekomendasi Kampus di SB lantai 2, di depan ruang Kajur. Tak
terasa, hari sudah sore. Aku dan Ndeng pun beristirahat sebentar di depan Lab
Telkom Barat yang sudah sepi, setelah seharian berlarian kesana-kemari, mengurus
berkas-berkas magang kami. Kami berdua bercakap-cakap riang. Sambil sesekali
menertawakan obrolan kami. Tiba-tiba pak Thomas keluar dari Ruang Kaprodi, dan
menghampiri kami yang asyik bercanda berdua. Kami menganggukkan kepala dan tersenyum
pada pak Thomas. Pak Thomas berjalan ke arah kami. Setelan kemeja dan celana
kain yang terlihat gombrong menjadi gaya khas pak Thomas yang kurus
dengan rambut ikal. Kacamata dan kumis menghiasi wajahnya yang lumayan terlihat
garang. Yah... pak Thomas dinobatkan menjadi anggota dalam jajaran “Tiga Dosen
Killer” prodi Teknik Telekomunikasi, bersama pak Sarono dan pak Arif oleh
kakak-kakak kelas. Hihihi :D. “Nah ngono.. ngguyu.. ojo mrengut wae.”,
sindir pak Thomas yang beberapa hari terakhir selalu berusaha memantau
perkembangan magang kami, dan menghibur kami dengan rutin mengajak ngobrol kami
setiap kami berkunjung ke kampus untuk menyelesaikan urusan magang. “Hehehe..
iya pak”, jawabku cengengesan. “Gimana? Jadinya kalian daftar ke mana?”, tanya
pak Thomas seraya duduk di deretan bangku di sebelah kami. “Saya di perusahaan
rekomendasi pak Suhe, pak”. “Saya di perusahaan layanan telepon di Bogor”,
jawab Ndeng dan aku berurutan. “Sudah pasti diterima?”, tanya pak Thomas lagi.
“Belum tau, pak. Nunggu pemberitahuan dari perusahaannya dulu.”, jawab kami
ragu-ragu. “Lah.. waktunya udah mepet lho”. “Hehe iya, pak”, jawaban kami, kali
ini disertai ekspresi yang mulai galau (lagi). Setelah itu pak Thomas berdiri
dan pergi meninggalkan kami. Sebelum pergi, pak Thomas menyemangati kami.
Sayangnya, aku tak ingat apa yang dikatakan pak Thomas. Tapi inti omongan pak
Thomas, beliau meyakinkan kami kalo kami akan diterima di perusahaan tujuan kami masing-masing. “Makasih pak Thomas”, batinku sambil menatap punggung beliau yang
berlalu dari hadapan kami. Akhirnya, aku dan Ndeng pulang dengan perasaan
sedikit lega, karna berhasil melangkah lebih jauh dari hari kemarin. Fiuhhhh... ^~^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar