Jumat, 17 Juni 2016

CATATAN HATI SEORANG IJAH (#5)



-Bersama = Bahagia-

Minggu lalu, sehari sebelum Memei dan Upit melaju menuju Jakarta, berbekal koper, tas, dan selembar karcis kereta yang akan membawa mereka menemukan pengalaman melalui petualangan baru mereka “sendiri”, kami memutuskan untuk berkumpul di rumah Memei. Aku dan Gita berangkat bersama. Kami berboncengan menggunakan motor Gita. Kali ini Gita tak lewat Sigar Bencah, jalur yang biasa dia lalui ketika berangkat dan pulang kuliah. Kami lewat Tanah Putih, karna kami berencana mampir dulu di salah satu studio foto dekat patung Diponegoro, yang lebih dekat jika jalur yang kami ambil adalah jalur yang melewati Tanah Putih. Naik, turun, dan meliuk. Kunikmati setiap pemandangan jalur yang akrab kulewati setiap berangkat dan pulang kuliah. “Kuharap ini yang terakhir di semester ini–sudah masuk semester 6 sekarang–aku melakukan perjalanan ke arah menuju kampus. Semoga aku bisa segera menyusul Gita, Upit, dan Memei untuk melaksanakan magang.”, aku berdoa dibalik kaca helmku, di kursi penumpang. Ya.. waktu itu kalo tidak salah, tanggal 27 Maret 2016. Nasib magangku belum jelas. Tapi bersama mereka berempat, selalu saja terasa nyaman dan berhasil membuatku merasa lebih tenang menghadapi permasalahan. Sesampainya di studio foto, kuserahkan struk bukti pembayaran yang kami lunasi 2 minggu lalu, sesaat sebelum kami–aku, Gita, Memei, Ndeng, Upit, dan Za–berpose ria sesuai arahan fotografer studio foto tersebut. Kami berenam adalah calon engineer wanita (Insyaa Allah) dari kelas TE-3B. Setelah mendapatkan 6 lembar hasil cetakan foto kami, Gita kembali tancap gas, membawaku menuju rumah Memei yang tak jauh dari studio foto itu. “Assalamu’alaikum... Memei...”, kataku setelah turun dari boncengan dan berdiri di depan gerbang. Sedangkan Gita masih di atas motornya, bersiap memarkirnya di teras rumah Memei, di balik gerbang yang ada di hadapanku sekarang. Tak lama kemudian, muncul seorang wanita dengan badan berisi dan wajah ceria. Dia lebih tinggi dariku, dan berkacamata. Memakai “pakaian rumah” yang khas dengan dirinya. Membukakan gerbang dan tersenyum padaku dan Gita. “Masuk”, katanya dengan muka cengengesan. “Misi ya, Mbak. Memei-nya ada?”, kata Gita sambil mengegas motornya, melewati wanita itu menuju teras rumah, dan memarkir motornya. “Ada, di dalam.”, kata wanita itu masih saja cengengesan. “Oh.. yaudah. Itu gerbangnya di tutup ya, Mbak.”, kataku ketus sambil menunjuk gerbang yang masih terbuka. “Oh.. iya iya”. Kami cekikikan bersama saat melangkah menuju dalam rumah, menghentikan drama aneh yang baru saja terjadi. Wanita tadi adalah Memei. Beberapa saat kemudian, Upit dan Ndeng datang berboncengan juga.

Lengkap sudah, “Hijabers Single”. Nama yang disematkan Gita untuk menggambarkan kami berlima. Entah dari mana dia mendapat ide untuk mebuat julukan, yang aku masih saja merasa geli ketika mengucapkannya. Mungkin benar kata orang, persamaan nasib bisa menjadi salah satu faktor beberapa orang membentuk sebuah kelompok. Dan kelompok kami berisikan 5 wanita berjilbab, berusia 20an, yang sedang berusaha menjadi engineer wanita yang handal, dengan imajinasi gila tak terbendung, sering tak ingat masalah dunia jika sudah berkumpul, beberapa kali membuat keonaran dan kebisingan, dan yang pasti kami berlima Single, alias Jomblo. Kisah asmara kami berlima bisa dibilang memiliki 1 garis merah yang hampir sama. Nasib kami sama. Terasa menggelikan setiap kami mulai berbicara soal status J.O.M.B.L.O yang melekat pada kami. Kami tak segan menyindir satu sama lain soal status jomblo itu, dan menghujani “korban” dengan berbagai ocehan kreatif-imajinatif yang tak terbayang jika ocehan itu benar-benar terjadi. Ada saja yang kami bicarakan, kami tak pernah kehabisan bahan obrolan. Mulai dari masalah kuliah, tugas, kegiatan di luar kampus, asmara, keluarga, berita terbaru yang muncul, dan berbagai hal yang tiba-tiba terlintas di pikiran kami. Tak jarang juga, kami mengobrol panjang lebar tentang agama dan rencana masa depan kami. Bisa dibilang, kami selalu berusaha mempunyai tujuan dan planning untuk masa depan yang kami yakin secerah muka kami yang ceria ketika bisa berkumpul bersama. Hihihihi :D.

Mangan yuk!”, kata Gita si Mesin Penggiling yang berbadan kurus. “Yuk! Aku yo ngeleh.”, kata Upit si Mesin Penggiling (2). Mereka berdua lebih sering merasa lapar duluan dibanding aku, Ndeng, dan Memei. Perut mereka juga mampu menampung porsi yang (jauh) lebih banyak dari kami bertiga. Meskipun begitu, badan mereka tidak berubah menjadi bulat. Mungkin belum. Wkwkwkwk XD. Kami berangkat ke warung penyet, siang itu. Kami memesan, mengambil posisi masing-masing, melingkar di meja lesehan, dan duduk saling berhadapan. Belum sampai 1 menit kami duduk, riuh mulai terdengar. Padahal di warung itu hanya ada kami berlima, 2 orang yang sedang makan di meja-kursi di belakangku, dan 2 juru masak yang sibuk membuat pesanan kami. Sesekali muncul hening di tengah obrolan kami. Tapi biasanya hanya berlangsung tak lebih dari 5 detik saja, dan perbincangan kembali berlanjut. Bisa dibilang, kami hanya bisa diam– berada di posisi yang sama dan tenang tanpa bicara–ketika kami makan, tidur, atau benar-benar merasa lelah, sehingga malas bicara. Benar saja. Setelah pesanan datang, warung mendadak terasa sepi. Hanya sesekali terdengar bunyi seruputan es teh melalui sedotan. Setelah makan selesai. Kami membuat “keributan” lagi. Kali ini Upit tiba-tiba membicarakan sinetron India yang sering di tonton ibunya. Gita dan Memei bersemangat menanggapinya. Ternyata ibu mereka berdua juga peminat sinetron itu. Dan seperti yang sudah sering terjadi di rumah. Karna ibu mereka menonton sinetron India itu, mau tak mau mereka juga ikut menontonnya. Mereka bertiga tertawa geli, membahas tontonan mereka yang sudah mirip ibu-ibu rumah tangga. Aku dan Ndeng hanya melongo. Tak mengerti yang mereka bicarakan. “Kalian ngomongin apa sih?”, tanyaku tak tahan terlihat bodoh karna hanya bisa melongo melihat mereka menertawakan hal yang tak kumengerti. Mereka bertiga menjelaskan padaku dan Ndeng tentang topik pembicaraan yang dimaksud. Akhirnya kami tertawa bersama, terbahak-bahak sampai perut kami yang tadi sudah kenyang, kini terasa sedikit sakit karena ototnya terus menegang setiap kami tertawa. Kami cukup lama di warung itu. Rasanya tak ingin beranjak. Bisa dibilang itu makan-makan bersama terakhir sebelum Memei berangkat nanti malam, dan Upit berangkat besok pagi-pagi sekali. Setelah waktu menjelang sore, dan matahari sudah tidak terlalu terik, kami baru memutuskan untuk kembali ke rumah masing- masing. Mengucapkan salam perpisahan untuk Upit dan Memei. Memeluk mereka, dan berdoa yang terbaik untuk kami berlima. “Semoga kita bisa sukses dan berhasil bersama-sama”. Aamiiin.... ^,^

Besoknya, Allah menjawab doaku tentang magang. Aku mendapat kabar aku diterima magang di Bogor. Aku bergegas memberi tahu Ibu. Ibu terlihat ikut bahagia mendengar kabar itu. Akhirnya, Jumat 1 April 2016, aku dan Ibu memesan tiket kereta di St. Poncol tujuan St. Pasar Senen untuk keberangkatan Sabtu 2 April 2016, kereta Tawang Jaya pukul 14.00. Karna 4 April 2016 aku harus sudah memulai magang. Ya... aku diantar Ibu. Karna memang bisa dibilang, aku anak rumahan banget. Meskipun aku anak sulung, aku anak paling manja di rumah dibanding 2 adikku. Hehehehe XP. Aku memberi kabar tentang keberangkatanku ke 4 sahabat SMK ku dan 4 sahabat kuliahku (Hijabers Single XD). Ada satu hal yang mengganjal keberangkatanku, Gigih, sahabat SMK ku akan menikah 2 minggu lagi. Aku ragu bisa hadir di acara yang sangat penting itu. Tapi aku berusaha keras, benar-benar berniat hadir. “Semoga Allah mengijinkan aku hadir di saat terpenting di hidupmu, ya Gih. Aamiiin”, doaku dalam hati. Setelah membeli tiket kereta, aku mengantar Ibu ke rumah Bulek Nanik yang letaknya dekat stasiun Poncol. Sedangkan aku menuju kampus untuk mengurus surat Perjanjian Magang, sekaligus berpamitan dengan pak Kaprodi dan pak Endro, pembimbing magangku.


Sudah di kampus. Aku sendirian. Kayak orang ilang. Bingung mau ngapain. Lupa bawa laptop, padahal HARUS ngedit berkas perjanjian. Akhirnya aku “malak” laptop orang yang beberapa kali kulihat ngobrol sama Upit dan Memei. Perlu digaris bawahi, aku sebenernya sama sekali nggak kenal orang itu. Alhamdulillah.. cewe yang aku pinjem laptopnya baik banget >o<. Dia salah satu penyelamat pelaksanaan magangku. Terima kasih banyak untuk orang yang biasa dipanggil UCIL sama Upit dan Memei. Selesai sudah pengurusan berkas. Sudah pamit juga. Saatnya menjemput Ibu dan kembali ke rumah untuk bersiap. Bismillah... Lancarkanlah perjalanan magangku ini ya Allah :) ... Aaamiiiin...

Jumat, 10 Juni 2016

CATATAN HATI SEORANG IJAH (#4)


-Rencana Allah-

3 hari berlalu sudah, sejak Bulek menerima paket proposal dariku. Tak enak hati sebenarnya, terus-menerus menanyakan tentang kepastian magang pada Bulek setiap hari. Tapi, seolah tak ada pilihan lain. Tak ada banyak waktu tersisa. Aku dan Ndeng masih sering bertemu, meskipun kami hanya tinggal menunggu keputusan perusahaan (untuk kedua kalinya). Bedanya, sekarang  kami menunggu keputusan perusahaan yang berbeda. Memei dan Upit sudah bersiap berangkat ke Jakarta. Sedangkan Gita sudah sibuk dengan magangnya di Semarang.
Seminggu lewat juga. Aku dan Ndeng benar-benar pasrah pada Allah. Kurasakan kegelisahan Ndeng yang masih terus menyelubungi pikiran dan perasaannya. Saat itu kami berdua makan siang bersama, di warung dekat kampus. Kami saling diam beberapa menit, sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Sampai akhirnya Ndeng mengatakan hal yang tak kusangka. “Aku ketompo magang neng Semarang, rakpo wes Jah.”, katanya sambil melihatku. Seolah memohon padaku dapat mengabulkan permintaannya tadi. Kutatap matanya. Pandangannya kosong, dia tak benar-benar melihatku, matanya hampir berkaca-kaca. Aku tak tau apa yang harus kukatakan. “Setertekan itukah kamu, Ndeng?”, batinku. Hatiku terluka melihat Ndeng mulai menyerah. Ku pegang lengan kirinya yang dia letakkan di atas meja. “Kamu kok ngomong gitu sih, Ndeng?”. Ndeng hanya diam. terlihat dari ekspresinya, banyak hal yang sedang melayang di pikirannya sekarang. “Bukannya kamu pengen magang di luar kota? Kamu pengen banget kan magang di Jakarta?”, tanyaku memecah lamunannya. “Iyaa.. Jah. Tapi liat kondisinya sekarang? Waktu udah mepet. Perusahaan masih belum kasi kepastian juga. Aku kudu piye?”. Baru pertama kali aku melihat Ndeng seperti ini. “Ndeng, kita kudu semangat! Kita mesti yakin kita bisa, Ndeng!”. “Tapi ki... hhhh...”, Ndeng menghela nafas. Dia kehabisan kata-kata. “Percaya sama rencana Allah, Ndeng!”, kali ini aku sedikit meremas lengan Ndeng karna gemas melihatnya seperti itu. Ndeng tersenyum melihat aku yang gemas dengan kelakuannya. Aku ikut tersenyum melihatnya. “Akhirnya senyum itu muncul juga. Alhamdulillah.. makasih ya Allah.”, batinku senang. Kurasakan semangatnya mulai muncul lagi. Kami melanjutkan percakapan sambil menikmati hidangan yang sudah diantar di hadapan kami. Ada kejadian lucu sesaat setelah pelayan memberikan pesanan kami. “Mas, ada sendok sama garpu?”, tanya Ndeng. “Itu Mbak”, kata pelayan sambil nunjuk sendok-garpu yang tertata rapi di tempatnya, tepat di hadapan Ndeng. “Ndeng...”, kataku menatap Ndeng menahan geli. “Oh iyo... hahaha”, Ndeng cekikikan sambil mengambil sendok-garpunya. “Apa itu kurang, Mbak?”, ledek pelayan tadi sambil senyum-senyum nahan geli juga, liat tingkah Ndeng. “Nggak.. nggak Mas.”, jawabku sambil ketawa. SROOOKK... Tiba-tiba pelayan tadi memasukkan segenggam penuh sendok-garpu ke tempat yang ada di hadapan aku dan Ndeng. “Ini Mbak”.  Aku dan Ndeng kaget. Tawa kami meledak melihat kelakuan pelayan itu. Hiburan yang sangat menyenangkan disela-sela kegalauan kami. Hahahaha XD.
Kalo tidak salah, Selasa 29 Maret 2016. Aku mendapat kepastian dari perusahaan tujuanku. Tepat sehari, setelah kloter terakhir yang berangkat ke Jakarta memulai magangnya. Bulek memberi kabar bahwa aku harus menandatangani berkas dari perusahaan tujuanku. Alhamdulillah aku sudah diterima. Tapi rasanya ada sesuatu yang mengganjal. “Bagaimana dengan Ndeng, Za, dan Rika?”, tiba-tiba muncul pertanyaan itu dalam benakku. Langsung kukirim pesan singkat pada Ndeng. Aku memberi kabar padanya bahwa aku sudah diterima, sekaligus menanyakan kabar lamaran magangnya. Di antara kami berlima –aku, Ndeng, Gita, Upit, Memei– Allah memilih Ndeng untuk menerima ujian kesabaran yang jauh lebih berat dari kami berempat, dalam menemukan tempat magang yang sudah ditentukan-Nya. Lagi-lagi Ndeng tidak diterima di tempat magang tujuannya yang kedua.
          “Hawane kudu nangis, Jah.. Aku rak ngerti kudu piye meneh.”
Kata Ndeng dalam salah satu pesan singkat yang dia kirim padaku. Kuharap aku bisa ada di sampingnya sekarang. Membantu meredakan sedihnya. “Ya Allah.. tolong hibur sahabatku ini. Berilah petunjuk padanya untuk bertahan dan terus berjuang”. Aku hanya bisa berdoa dari kejauhan. Aku tau Allah punya rencana paling indah.
Akhirnya, Ndeng, Za, dan Rika, diterima di perusahaan pelayanan telepon yang ada di Semarang. “Doamu terkabul, Ndeng”, batinku tak lagi sedih mendapat kabar Ndeng sudah mulai magang. Doa Ndeng di warung waktu itu terkabul, doa tentang magang di Semarang. Ternyata itu yang terbaik buat Ndeng.

Dugaanku dulu ternyata benar. Kami berlima memang “harus” magang di tempat yang berbeda-beda. Aku di Bogor, Upit di Jakarta Selatan, Memei di Jakarta Barat, Gita di Semarang–daerah Tanah Putih, dan Ndeng di Semarang–daerah Tembalang. Meskipun aku belum mengerti sepenuhnya mengapa kami ditakdirkan magang saling terpisah, aku yakin Allah punya rencana yang indah untuk kami setelah kami bertemu kembali. Berkumpul berlima. Melakukan kegilaan yang biasa terjadi ketika kami berlima dikumpulkan dalam satu tempat lagi. Dan menjadi tempat sampah untuk satu sama lain, dengan selalu bersedia menerima curhatan, keluh kesah, dan berbagai hal “nggak penting” lainnya.
Semangat!! untuk 4 sampai 6 bulan ke depan!! (9^o^)9 yosh...

CATATAN HATI SEORANG IJAH (#3)

-Alasan Tak Terduga-  

Besoknya, aku, Ndeng, Za, dan Rika janjian ketemu di kampus. Kami berencana memulai mencari tempat magang baru, setelah diinfokan kami tidak diterima di stasiun TV kemarin. Dari info pak Kaprodi juga, kami menghubungi pak Eko yang katanya punya channel di salah satu perusahaan pelayanan telekomunikasi di Jogja dan pak Endro yang katanya (juga) punya kenalan di salah satu stasiun TV lokal di Jawa Timur.
Karna pak Endro belum bisa kami temui, kami memutuskan untuk mencari tempat magang di wilayah sekitar kampus, di daerah Tembalang. Berdasarkan info dari internet, banyak kantor-kantor cabang perusahaan pelayanan telekomunikasi dan internet provider, serta beberapa stasiun TV lokal yang ada di sekitar Tembalang. Tanpa Rika, yang katanya ada keperluan, kami bertiga berangkat berkeliling Tembalang siang itu. Aku berboncengan dengan Za menaiki Vega ZR-ku, sedangkan Ndeng mengendarai Scoopy-nya sendiri. Siang itu cukup terik, slayer yang terbalut menutupi setengah wajah kami, ditambah jaket dan celana panjang, belum cukup menahan hawa panas yang menembus melewati pori-pori kain mengenai kulit kami. Tapi demi menemukan tempat magang baru, sekaligus memenuhi persyaratan kuliah semester 6 ini-M.A.G.A.N.G-kami tak mau menyia-nyiakan waktu yang segera menuju batas akhir pelaksanaan magang.
Pertama, kami menuju ke sebuah perusahaan internet provider yang letaknya dekat GOR Jatidiri. Gita yang memberi saran pada kami untuk mencoba menanyakan peluang magang di perusahaan itu, karna perusahaan tersebut memang sering menerima peserta magang dan cocok dengan Prodi kami. Kami sempat tersesat karna salah belok XD hihihi. Tapi tak lama, akhirnya kami temukan perusahaan yang dimaksud. Di depan perusahaan, aku, Ndeng, dan Za ragu. “Apakah benar ini perusahaannya?”, tanya Za. “Iya? Bentuknya kok kayak rumah biasa gitu ya?”, Ndeng ikut-ikutan bingung. Kami cengengesan beberapa menit, sampai akhirnya kami memutuskan untuk bertanya pada beberapa orang yang sedang mengobrol di depan sebuah Rumah 2 lantai yang pintunya tertutup rapat, tapi gerbang putihnya terbuka dengan halaman yang tidak terlalu luas yang difungsikan sebagai tempat parkir 1 mobil perusahaan dan beberapa motor karyawan. “iya.. betul mbak.. masuk aja, langsung masuk. Parkirnya di dalam saja.” kata salah seorang bapak-bapak sambil manggut-manggut. Kami yang membuka kaca helm dan slayer yang menutup setengah muka kami tadi, ikutan manggut-manggut. “Oh ya... makasih ya pak”, jawab kami nyaris bersamaan sambil menyungging senyum. Kami pun masuk dan memarkir motor kami di tempat parkir yang nyaris penuh.
Helm kami lepas dan diletakkan bergantung pada spion kanan. Jaket kulepas, kusimpan di lengan kanan. Setelah merapikan pakaian, kami berjalan melewati jalan setapak yang pendek ditengah rumput hijau, kira-kira 3 langkah dari puntu masuk. Kami mengetuk pintu berwarna coklat tua, warna yang membuatnya terlihat kokoh, dihiasi lonceng di sudut kanan atas. Tak lama, terdengar suara laki-laki dari dalam, “Ya, silahkan masuk!”. Sambil memasang wajah ramah dengan senyuman, laki-laki tadi yang tak lain adalah satpam perusahaan itu, melipat koran yang dibacanya dan bertanya pada kami dengan pertanyaan klasik. “Ada yang bisa saya bantu?”. “Euh.. kami mau bertanya tentang magang di perusahaan ini. Apakah masih ada lowongan untuk peserta magang atau tidak?”, aku mulai angkat bicara. “Oh ya.. tunggu sebentar ya. Silahkan duduk dulu.”, jawab pak satpam sambil beranjak dari tempat duduknya dan melangkah ke dalam, sepertinya ke lantai 2. Kamipun berbalik dari meja resepsionis untuk duduk dan menunggu. Kami terdiam dan sama-sama memandang “apa” yang ada di hadapan kami. Kemudian kami saling pandang dan tertawa kecil, Za nyeletuk, “Lah.. kursine loro tok”, khas dengan aksen jawanya. Memang hanya ada 2 kursi di antara meja dengan hiasan vas bunga di atasnya. Akhirnya, aku dan Za yang berukuran “mini” duduk bersama di satu kursi. Sedangkan Ndeng duduk di kursi satunya.
Sekitar 5 menit lebih kami menunggu. Keadaan di kantor itu cukup sepi. Dari ruang tunggu, terlihat banyak yang sedang meninggalkan kursi dan meja kerjanya. Mungkin karna sekarang hampir menjelang jam istirahat makan siang. Pak satpam turun dan kembali ke meja resepsionisnya, “Tunggu sebentar ya mbak, sebentar lagi ibunya turun.”. “Ya, pak”, jawab kami sambil menganggukkan kepala. Tak lama kemudian, turun seorang ibu-ibu yang langsung mempersilahkan kami untuk masuk ke sebuah ruang kecil lainnya yang sepertinya digunakan untuk diskusi perusahaan. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan kami berkunjung, serta menjelaskan, dan menanyakan beberapa hal tentang magang. Ibu itu pun menjawab dengan singkat. Jawaban yang sama sekali tak kami duga sebelumnya. “Maaf, kami tidak menerima peserta magang perempuan.”. Tanpa sedikitpun perasaan bersalah, ibu itu menjelaskan alasannya yang intinya yaitu kalo yang magang cewe bakal susah disuruh kerja lapangan. Alasan yang jelas tidak bisa kami bertiga terima. Kami berusaha menjelaskan pengalaman kami dan kegiatan di kampus yang sudah melatih kami untuk bisa menjadi teknisi lapangan, meskipun kami C.E.W.E. Tapi belum selesai kami menjelaskan, ibu itu langsung memotong omongan kami dan mengulang perkataannya lagi, “Di sini nggak nerima magang cewe.”. Kulihat muka ibu itu terlihat mulai malas meladeni kami. Akhirnya kami menyerah untuk berbicara lebih panjang. Karna kesal, “Oh ya.. makasih ya bu”, kataku dengan senyum kecut sambil menyodorkan tangan bermaksud bersalaman untuk pamit dan beranjak dari kursiku, diikuti Za dan Ndeng. Saat melangkah keluar ruangan itu, tiba-tiba ibu itu minta maaf karna tidak bisa menerima kami. “hhhh... pasti cuma formalitas. Biar kelihatan sopan”, batinku ketus. Kami hanya membalas dengan senyuman dan segera keluar dari perusahaan itu.
“Apa-apaan?? Karna kita cewe??”, kata Za bersungut. Kami sempat memperdebatkan itu dengan sedikit berbisik-bisik kesal beberapa menit di tempat parkir perusahaan, sambil memakai kembali jaket, slayer, dan helm kami, berniat untuk berkeliling lagi menuju perusahaan lainnya. Sepanjang perjalanan, aku terus saja memikirkan yang baru saja terjadi. Aku masih tak habis pikir dengan ucapan ibu tadi. “Alasan macam apa itu?? Sekarang kan udah jaman emansipasi. Dan.. halooo buu.. njenengan kan yo nggeh wedok”, batinku masih saja kesal. Aku begitu kesal, sampai tak ada alasan untuk ber-positive thinking. Hanya bisa ber-Istighfar ketika mengingat kejadian itu. Kami benar-benar berkeliling menyusuri setiap perusahaan yang berhubungan dengan telekomunikasi di Tembalang siang itu. Berharap tiba-tiba muncul kejaiban. Tapi, yahhh... namanya juga belum rejeki. Walaupun udah panas-panasan, naik, turun, naik lagi, muter sana, belok sini, tetep aja hasilnya nihil. Akhirnya kami beristirahat di masjid Al-Azhar sekalian sholat zuhur. Kami bertiga janjian sama Upit dan Memei yang baru saja menyerviskan laptop Upit untuk bertemu di masjid Al-Azhar, sebelum kembali ke kampus.
Sekembalinya di kampus, mood ku tak kunjung membaik. Membawaku terseret ke ingatan hari kemarin. Kemarin, setelah keluar ruangan, setelah pemberitahuan dari pak Kaprodi, aku, Ndeng, dan Za kebetulan bertemu pak Eko yang terlihat menuju kantin depan Lab Telkom Barat. Kamipun berhambur menghampiri beliau, berharap bisa membantu melancarkan langkah kami untuk magang. “Benar-benar dosen ini...”, batinku mulai jengkel. Aku baru sadar kalo pak Eko memang bukan karakter orang yang senantiasa langsung mau membantu orang lain untuk menyelesaikan masalah. Beliau selalu saja mengetes dan melihat seberapa besar effort kita untuk mendapatkan sesuatu. Memang bagus sih.. tapi kurasa hal tersebut kurang tepat untuk diterapkan pada 3 orang yang sedang down mentalnya karna baru saja mendapat penolakan magang 2 minggu sebelum hari-H. Masih jelas tergambar di benakku, bagaimana cara pak Eko merespon kami bertiga. Beliau benar-benar terlihat ogah-ogahan mendengarkan apalagi meladeni kami. Setiap kami berusaha menjelaskan keadaan kami, beliau terus berusaha mondar-mandir menyibukkan diri kesana-kemari dengan langkahnya yang panjang dan cepat. Sekalinya menanggapi, eh malah bahas Jess (Jess adalah teman sekelas kami yang bisa dibilang cukup akrab dengan pak Eko, tapi sekarang dia sudah pindah ke Bangka). Sikap pak Eko yang terus-menerus seperti itu sampai hampir 10 menit berhasil membuat kami semakin merasa frustasi. Za yang saat itu duduk di kursi depan Lab Telkom Barat, seketika langsung menunduk dan menenggelamkan wajahnya di atas lipatan tangannya. Rambutnya yang lurus sebahu menutupi sebagian tangannya. Ndeng hanya bisa berdiri mematung sambil menunduk lesu. Sedangkan aku.. hhhh.. aku menghela nafas dan berusaha memalingkan wajahku dari pak Eko, berusaha tidak memikirkan hal buruk tentang pak Eko. Akhirnya pak Eko menangkap kegelisahan kami. Respon beliau mulai nyambung dengan apa yang kami keluhkan tadi. Kemudian, sambil berdiri dari deretan kursi di depan Lab Telkom Barat dan berlalu menuju ruang Kaprodi, beliau berkata, “Kalo mau, Senin kumpulkan proposal lengkap ke saya.”.
Lamunanku tentang pak Eko terhenti ketika pak Edi menghampiri kami. Sebelumnya kami memang bertanya pada pak Edi lewat WA, apakah punya referensi magang atau tidak. “Eu.. coba hubungi pak Eko ya. Pak Eko punya banyak referensi.”, kata pak Edi dengan gaya bicara khasnya yang lucu, ramah, dan sopan. Sepertinya karna terburu-buru, pak Edi langsung meninggalkan kami. Hal yang sama sekali tak kuduga adalah, Ndeng langsung menggerutu saat mendengar jawaban pak Edi. “Pak Eko meneh?!”, ucapnya pelan. Sepertinya dia refleks mengucapkan itu, mungkin dia juga teringat kejadian kemarin. Hahaha Ndeng bikin geli, sempet-sempetnya ngelawak di saat seperti ini. Tak berhenti di situ, Ndeng membuka pesan WA dari Gita yang baru saja masuk. Tulisannya, “Coba tanya pak Eko, Ndeng”. “Halah!..”, gerutu Ndeng lagi. Aku tak kuat menahan tawa. Pasalnya, Ndeng adalah tipe orang yang sangat fleksibel dan tenang, apa-apa “luweh”. Tapi kali ini, sepertinya aku menemukan satu sisi Ndeng yang lain. Wkwkwk XD. “Sabar Ndeng..”, kataku cekikikan sambil menyenggol Ndeng yang hanya merespon dengan tawa kecil.
Tak berhasil lewat cara mendatangi langsung perusahaan di sekitar Tembalang maupun bertanya referensi pada dosen, kami memutuskan untuk berusaha mencari peluang dengan bertanya pada sanak keluarga kami masing-masing tentang lowongan magang untuk D4 Teknik Telekomunikasi. Hari berlalu begitu cepat, sudah hari Jumat saja sekarang. Sisa 1 minggu lagi, teman-teman kloter paling terakhir akan segera berangkat dan memulai magang mereka. Sedangkan kami masih berkutat dalam pencarian tempat magang. Sampai akhirnya Ndeng memutuskan untuk mendaftarkan diri ke sebuah perusahaan di Jakarta, berdasarkan rekomendasi seorang dosen yang memiliki mahasiswa yang bekerja di perusahaan tersebut.
“Jah, aku mau daftar ke perusahaan ini aja deh. Udah mepet juga waktunya.”
“Yaudah deh, aku juga.”
“Oke. Berarti ini aku bikin surat rekomendasi kampusnya, buat aku, kamu, Rika, sama Za. Nanti aku ke kampus sekitar jam 9.”
“Oke, makasi ya Ndeng. Nanti aku nyusul bareng Za.”
Sebelum berangkat ke kampus, aku memberitahu Ibu kalo aku sudah mau mendaftar ke sebuah perusahaan rekomendasi dosen tadi. Lalu Ibu mengingatkan kalo aku masih harus menunggu kabar dari Bulek, karna Bulek sudah susah payah mengusahakan mencari informasi magang untukku, di tengah kegiatannya yang super padat. Perasaanku langsung tak menentu. Tadi aku sudah terlanjur menyanggupi Ndeng untuk mendaftar bersama, tapi aku masih harus menunggu kabar dari Bulek. Pilihannya adalah, mendaftar segera bersama Ndeng, Za, dan Rika. Atau sendirian mendaftar belakangan, menunggu kabar dari Bulek. “Ya Allah, sungguh aku sama sekali tidak mengetahui mana yang terbaik untukku. Aku tahu Kau punya rencana yang indah, tapi  dari mana aku tahu aku sudah berada di jalur rencana-Mu atau belum?”, batinku terasa sesak. Aku harus mempertimbangkan dengan baik pilihan ini. Waktuku hanya selama perjalanan dari rumah ke kampus, untuk memutuskan apa yang harus ku lakukan. Langsung mendaftar, atau menunggu dulu. Sesampainya di kampus, aku terus berusaha menghubungi Bulek yang tak kunjung merespon. “Mungkin sedang sibuk”, pikirku. “Gimana, Jah? Selak awan ki.”, Ndeng memecah lamunanku. “Bismillah..”, batinku. “Udah, tinggal aja Ndeng. Aku mau nunggu kabar dari Bulekku dulu aja. Kalian daftar dulu aja bertiga. Kalo nanti ternyata yang di kenalan Bulekku nggak bisa, aku ikut daftar bareng kalian. Biar nanti aku yang urus ulang surat rekomendasinya buat kita.”, jelasku panjang lebar setelah berhasil memutuskan kegalauanku tadi.
Sebenarnya aku sangat gelisah harus menunggu sendiri. Melihat Ndeng baru saja turun dari gedung SB lantai 2 untuk mengantrikan surat rekomendasi agar ditandatangani pak Kajur, membuatku semakin cemas. Akupun mengecek hape yang daritadi kuletakkan disaku jaket yang ku tinggal di bangku kedua, sebelah kanan dari bangkuku duduk sekarang. Ada sms, semoga bukan dari operator seluler. Karna aku sering sekali mendapat pesan dari operator seluler. Ku tekan tombol untuk membuka pesan. Ternyata dari Bulek!! Segera kubaca dengan hati-hati, sebenarnya aku takut untuk berharap lebih. Karena takut kecewa sama seperti beberapa hari belakangan akibat permasalahan magang. Di pesan itu tertulis,
“Iya nok, bisa. Langsung bikin proposal lengkap aja untuk perusahaan yang ada di Pajajaran. Kirimnya ke rumah Bulek aja, lewat JNE yang kilat. Nanti Bulek titipkan ke tetangga Bulek yang kerja di perusahaan penyedia layanan telepon itu.”
“SUBHANALLAAH...”, aku bergumam senang. Gembiraku tak terbendung, aku langsung menghampiri Ndeng yang berjalan ke arahku. “Alhamdulillah Ndeng... bulekku udah bales. Sekarang aku perlu segera nyusun proposal lengkap buat tak kirim ke bulekku”, aku berkata sambil mencengkeram lengan baju Ndeng dengan tawa yang akhirnya bisa menghiasi wajahku. “Alhamdulillah jah... mau aku temenin siapin proposalnya?”, kata Ndeng sambil senyum. Aku  membalasnya dengan anggukan bersemangat. Wajahku yang berbinar-binar saat itu, saling berpandangan dengan Ndeng sesaat. Mengisyaratkan, “Akhirnya kita berhasil lolos dari ujian pertama kita. Ujian kedua kita adalah menunggu pengumuman dari perusahaan. Dan ujian ketiganya adalah proses magang. Semoga kita berhasil !!”. Aku segera membereskan barangku yang berserakan di bangku depan Lab Telkom Barat. Kemudian aku ditemani Ndeng, bergegas menuju gazebo SA untuk mempersiapkan semua berkas yang perlu aku urus di kampus untuk kemudian kukirim ke Bulek secepat mungkin.
Sesampainya di gazebo SA, langsung kukeluarkan laptopku. Kupencet tombol powernya. Kutancapkan charger-nya. Dan langsung kujelajahi file-file dalam folder khusus magang yang telah kubuat. Kupilih berkas-berkas yang perlu kucetak, Surat Lamaran Magang, Surat Rekomendasi dari Kampus, Proposal Magang, CV, dan Lampiran Transkrip Nilai. Setelah selesai menyiapkan semua file, aku langsung mencetaknya dan mengantrikan Surat Rekomendasi Kampus di SB lantai 2, di depan ruang Kajur. Tak terasa, hari sudah sore. Aku dan Ndeng pun beristirahat sebentar di depan Lab Telkom Barat yang sudah sepi, setelah seharian berlarian kesana-kemari, mengurus berkas-berkas magang kami. Kami berdua bercakap-cakap riang. Sambil sesekali menertawakan obrolan kami. Tiba-tiba pak Thomas keluar dari Ruang Kaprodi, dan menghampiri kami yang asyik bercanda berdua. Kami menganggukkan kepala dan tersenyum pada pak Thomas. Pak Thomas berjalan ke arah kami. Setelan kemeja dan celana kain yang terlihat gombrong menjadi gaya khas pak Thomas yang kurus dengan rambut ikal. Kacamata dan kumis menghiasi wajahnya yang lumayan terlihat garang. Yah... pak Thomas dinobatkan menjadi anggota dalam jajaran “Tiga Dosen Killer” prodi Teknik Telekomunikasi, bersama pak Sarono dan pak Arif oleh kakak-kakak kelas. Hihihi :D. “Nah ngono.. ngguyu.. ojo mrengut wae.”, sindir pak Thomas yang beberapa hari terakhir selalu berusaha memantau perkembangan magang kami, dan menghibur kami dengan rutin mengajak ngobrol kami setiap kami berkunjung ke kampus untuk menyelesaikan urusan magang. “Hehehe.. iya pak”, jawabku cengengesan. “Gimana? Jadinya kalian daftar ke mana?”, tanya pak Thomas seraya duduk di deretan bangku di sebelah kami. “Saya di perusahaan rekomendasi pak Suhe, pak”. “Saya di perusahaan layanan telepon di Bogor”, jawab Ndeng dan aku berurutan. “Sudah pasti diterima?”, tanya pak Thomas lagi. “Belum tau, pak. Nunggu pemberitahuan dari perusahaannya dulu.”, jawab kami ragu-ragu. “Lah.. waktunya udah mepet lho”. “Hehe iya, pak”, jawaban kami, kali ini disertai ekspresi yang mulai galau (lagi). Setelah itu pak Thomas berdiri dan pergi meninggalkan kami. Sebelum pergi, pak Thomas menyemangati kami. Sayangnya, aku tak ingat apa yang dikatakan pak Thomas. Tapi inti omongan pak Thomas, beliau meyakinkan kami kalo kami akan diterima di perusahaan tujuan kami masing-masing. “Makasih pak Thomas”, batinku sambil menatap punggung beliau yang berlalu dari hadapan kami. Akhirnya, aku dan Ndeng pulang dengan perasaan sedikit lega, karna berhasil melangkah lebih jauh dari hari kemarin. Fiuhhhh... ^~^