Jumat, 12 Agustus 2016

CATATAN HATI SEORANG IJAH (#6)



-M.A.G.A.N.G-

Matahari masih enggan beranjak dari peraduannya. Angin semilir kadang berhembus, di tengah-tengah pemukiman padat penduduk, di pagi itu. “Inilah Jakarta”, aku berkata pada diriku sendiri. Aku baru selesai mandi di rumah orang tua Bulek Uus. Ya... tadi malam Om Us menjemput aku, Ibu, dan Om Hendrik di stasiun Pasar Senen. Memboyong kami ke Kebayoran, menaiki sedan biru, lengkap dengan supir yang berseragam, dan argo yang terus berjalan. Saat itu malam sudah larut, tapi tak menyurutkan keramaian di luar jendela taksi yang sedari tadi kupandangi. Ini memang bukan pertama kalinya aku datang ke Jakarta, tapi mengingat bahwa aku akan menghadapi 5 bulan ke depan “sendirian”, selalu membuatku gugup. Pasalnya, aku belum pernah berada jauh dari rumah untuk jangka waktu lama. Belum pernah lepas dari pelukan Ibu. Tak pernah melepas genggaman Bapak. Tak mengira takkan melihat adik-adikku, Salma dan Nia, dalam waktu lama. Bahkan aku sering merindukan mereka saat aku dalam perjalanan berangkat kuliah. Padahal, HEY!! Aku baru saja melihat mereka tak lebih dari 20 menit lalu. Yah... mungkin aku terlalu mencintai mereka. Cinta yang mungkin tak semua orang bisa mengerti dan tau rasanya seperti apa. Cinta yang kebanyakan orang kini mengabaikannya. Cinta kepada Keluarga.

Setelah sarapan, Om Us dan Nanda–anak Om Us, mengantar kami ke stasiun Kebayoran untuk melanjutkan perjalanan ke Citayam. Ke rumah Bulek Ria. Sesampainya di stasiun Citayam, aku, Ibu, dan Om Hendrik melanjutkan perjalanan dengan menaiki 3 ojek, beserta 2 koper ukuran sedang, 1 ransel, dan 1 kardus bekas air mineral yang semuanya berisi barang-barangku. Malam harinya, aku dibantu Ibu, membongkar semua barang bawaanku. Sifat manja dan parasitku ke Ibu masih saja kulakukan di beberapa jam menjelang “Tantangan” yang disebut Magang menghampiriku. Aku hanya memilihi barang yang perlu kubawa besok. Sisanya Ibu yang membereskan secara suka rela. Hihihihihi ^~^. Memalukan memang. Tapi aku tak bisa memungkiri betapa besar rasa ketergantunganku pada Wanita Tegar yang selalu ada di setiap “perjuangan”-ku itu.

Esok harinya, dengan ditemani Ibu dan Bulek Ria, aku berkunjung ke rumah Pak Wardi, salah satu Manajer di tempat magangku. Beliau bersedia memberi tumpangan mobil secara gratis padaku, sampai nanti aku berani berangkat dan pulang sendiri Citayam–Bogor. Sesampainya di kantor, aku diantar ke ruang HR. Di sana aku bertemu bu Indah, dan diberi surat penempatan magang. “Ini, kamu ke lantai 3 dan ketemu pak Sulis ya.”, kata bu Indah ramah seraya menyerahkan selembar kertas A4 berisi keterangan di mana aku akan melaksanakan magang.

Aku begitu gugup. Tak seorang pun ku kenal, kecuali pak Wardi. Ku coba untuk terus mengontrol diriku sendiri. Mencegah diriku melakukan kekonyolan di hari pertama magang. Kecerobohan dan polahku yang pecicilan sering tiba-tiba muncul di luar kendali. Belum lagi ditambah sulitnya aku untuk bersosialisasi, terutama di lingkungan baru. Ku naiki lift menuju lantai 3. Setelah keluar lift... aku tak tau harus ke kanan atau ke kiri. Aku merasa begitu bodoh. “Kenapa tadi aku nggak nanya ke bu Indah?”, tanyaku menyalahkan diri sendiri. akhirnya kuputuskan untuk ke kanan. Karna di sana ada ramai-ramai, sepertinya sedang ada penerimaan karyawan baru. Atau mungkin anak magang juga!!

Semuanya berkemeja putih dan bercelana hitam. Semuanya laki-laki. Ada 1 wanita berseragam perusahaan sedang mengatur sekitar 20 orang yang sedang berkumpul disitu. Karna terlihat sangat sibuk, aku enggan bertanya padanya karna takut mengganggu. Kulihat ada seorang laki-laki yang berdiri sendirian di tengah ruangan itu. Dia tak memiliki kelompok sendiri. ku beranikan diri melangkahkan kaki mendekatinya. Ku tarik nafas panjang. Dan... “Misi mas, kalo ruangan pak Sulis sebelah mana ya? Data Access Management?”, tanyaku sekenanya. “Oh saya juga baru di sini. Coba tanya sama Mbak yang itu.”, jawabnya begitu ramah. Mau nggak mau aku harus menyela Mbak-mbak itu untuk bertanya tentang bagian magangku. Aku dan laki-laki itu sempat mengobrol beberapa saat sambil menunggu jawaban Mbak-mbak tadi. Sampai tiba-tiba aku pergi melenggang tanpa sopan sedikitpun, meninggalkan percakapan kami karna aku terburu-buru mengikuti Mbak-mbak tadi memintaku mengikuti langkahnya yang cepat dan gesit.

Semua orang di ruangan tempatku duduk sekarang terlihat begitu sibuk. Mungkin karna sibuknya, mereka tak terlalu memedulikan kehadiranku. Kabar buruk selanjutnya adalah, “Pak Sulis sedang cuti sampai minggu depan.”. JLEB!! Dan seperti yang kuduga, aku dianggurkan seharian penuh di hari pertamaku magang. Aku dibiarkan “menonton” kegiatan mereka di salah satu sofa yang berada di ruangan itu. Untung tak lama kemudian, muncullah 7 orang anak SMK yang juga magang di ruangan ini. 3 diantaranya berada di divisi yang sama denganku. Aku mulai kembali bersemangat. Sampai kudengar mereka terus bercakap-cakap menggunakan bahasa Arab. TT^TT. Yahh.. mereka dari pondok pesantren yang ada SMK nya.

Piye Al magange?”. Tulisan dari pesan singkat yang kuterima dari Ibu. Ibu berkata ingin menjemputku ke kantor, sore ini. “Jemput ke sini?”, tanyaku membalas pesan Ibu. Ibu memang memiliki kekhawatiran yang berlimpah. Ibupun ngotot akan menjemputku bersama Om Hendrik dengan naik KRL dilanjutkan naik angkot. “Ibu di luar kantor”. Pesan itu sempat membuatku geli dan mengingatkanku pada “sifat konyol” yang diturunkan Ibu padaku. Wkwkwkwk XD. Akupun pulang dengan penuh rasa gembira. Seperti anak playgroup yang selesai bersekolah dan menyadari Ibunya telah menjemputnya. Kulupakan kekesalanku di kantor hari ini. Karna Ibu masih disampingku. Berada dalam jangkauannya selalu membuatku tenang :’).