-Bersama = Bahagia-
Minggu
lalu, sehari sebelum Memei dan Upit melaju menuju Jakarta, berbekal koper, tas,
dan selembar karcis kereta yang akan membawa mereka menemukan pengalaman
melalui petualangan baru mereka “sendiri”, kami memutuskan untuk berkumpul di
rumah Memei. Aku dan Gita berangkat bersama. Kami berboncengan menggunakan
motor Gita. Kali ini Gita tak lewat Sigar Bencah, jalur yang biasa dia lalui
ketika berangkat dan pulang kuliah. Kami lewat Tanah Putih, karna kami
berencana mampir dulu di salah satu studio foto dekat patung Diponegoro, yang
lebih dekat jika jalur yang kami ambil adalah jalur yang melewati Tanah Putih. Naik,
turun, dan meliuk. Kunikmati setiap pemandangan jalur yang akrab kulewati
setiap berangkat dan pulang kuliah. “Kuharap ini yang terakhir di semester
ini–sudah masuk semester 6 sekarang–aku melakukan perjalanan ke arah menuju
kampus. Semoga aku bisa segera menyusul Gita, Upit, dan Memei untuk
melaksanakan magang.”, aku berdoa dibalik kaca helmku, di kursi penumpang. Ya..
waktu itu kalo tidak salah, tanggal 27 Maret 2016. Nasib magangku belum jelas.
Tapi bersama mereka berempat, selalu saja terasa nyaman dan berhasil membuatku
merasa lebih tenang menghadapi permasalahan. Sesampainya di studio foto,
kuserahkan struk bukti pembayaran yang kami lunasi 2 minggu lalu, sesaat
sebelum kami–aku, Gita, Memei, Ndeng, Upit, dan Za–berpose ria sesuai arahan
fotografer studio foto tersebut. Kami berenam adalah calon engineer wanita
(Insyaa Allah) dari kelas TE-3B. Setelah mendapatkan 6 lembar hasil cetakan foto
kami, Gita kembali tancap gas, membawaku menuju rumah Memei yang tak jauh dari
studio foto itu. “Assalamu’alaikum... Memei...”, kataku setelah turun dari
boncengan dan berdiri di depan gerbang. Sedangkan Gita masih di atas motornya,
bersiap memarkirnya di teras rumah Memei, di balik gerbang yang ada di
hadapanku sekarang. Tak lama kemudian, muncul seorang wanita dengan badan
berisi dan wajah ceria. Dia lebih tinggi dariku, dan berkacamata. Memakai
“pakaian rumah” yang khas dengan dirinya. Membukakan gerbang dan tersenyum padaku
dan Gita. “Masuk”, katanya dengan muka cengengesan. “Misi ya, Mbak. Memei-nya
ada?”, kata Gita sambil mengegas motornya, melewati wanita itu menuju teras
rumah, dan memarkir motornya. “Ada, di dalam.”, kata wanita itu masih saja
cengengesan. “Oh.. yaudah. Itu gerbangnya di tutup ya, Mbak.”, kataku ketus sambil
menunjuk gerbang yang masih terbuka. “Oh.. iya iya”. Kami cekikikan bersama
saat melangkah menuju dalam rumah, menghentikan drama aneh yang baru saja
terjadi. Wanita tadi adalah Memei. Beberapa saat kemudian, Upit dan Ndeng
datang berboncengan juga.
Lengkap
sudah, “Hijabers Single”. Nama yang disematkan Gita untuk menggambarkan kami
berlima. Entah dari mana dia mendapat ide untuk mebuat julukan, yang aku masih
saja merasa geli ketika mengucapkannya. Mungkin benar kata orang, persamaan
nasib bisa menjadi salah satu faktor beberapa orang membentuk sebuah kelompok.
Dan kelompok kami berisikan 5 wanita berjilbab, berusia 20an, yang sedang
berusaha menjadi engineer wanita yang handal, dengan imajinasi gila tak
terbendung, sering tak ingat masalah dunia jika sudah berkumpul, beberapa kali
membuat keonaran dan kebisingan, dan yang pasti kami berlima Single, alias
Jomblo. Kisah asmara kami berlima bisa dibilang memiliki 1 garis merah yang
hampir sama. Nasib kami sama. Terasa menggelikan setiap kami mulai berbicara
soal status J.O.M.B.L.O yang melekat pada kami. Kami tak segan menyindir satu
sama lain soal status jomblo itu, dan menghujani “korban” dengan berbagai
ocehan kreatif-imajinatif yang tak terbayang jika ocehan itu benar-benar
terjadi. Ada saja yang kami bicarakan, kami tak pernah kehabisan bahan obrolan.
Mulai dari masalah kuliah, tugas, kegiatan di luar kampus, asmara, keluarga, berita
terbaru yang muncul, dan berbagai hal yang tiba-tiba terlintas di pikiran kami.
Tak jarang juga, kami mengobrol panjang lebar tentang agama dan rencana masa
depan kami. Bisa dibilang, kami selalu berusaha mempunyai tujuan dan planning
untuk masa depan yang kami yakin secerah muka kami yang ceria ketika bisa
berkumpul bersama. Hihihihi :D.
“Mangan
yuk!”, kata Gita si Mesin Penggiling yang berbadan kurus. “Yuk! Aku yo
ngeleh.”, kata Upit si Mesin Penggiling (2). Mereka berdua lebih sering
merasa lapar duluan dibanding aku, Ndeng, dan Memei. Perut mereka juga mampu
menampung porsi yang (jauh) lebih banyak dari kami bertiga. Meskipun begitu,
badan mereka tidak berubah menjadi bulat. Mungkin belum. Wkwkwkwk XD. Kami
berangkat ke warung penyet, siang itu. Kami memesan, mengambil posisi
masing-masing, melingkar di meja lesehan, dan duduk saling berhadapan. Belum
sampai 1 menit kami duduk, riuh mulai terdengar. Padahal di warung itu hanya
ada kami berlima, 2 orang yang sedang makan di meja-kursi di belakangku, dan 2
juru masak yang sibuk membuat pesanan kami. Sesekali muncul hening di tengah
obrolan kami. Tapi biasanya hanya berlangsung tak lebih dari 5 detik saja, dan
perbincangan kembali berlanjut. Bisa dibilang, kami hanya bisa diam– berada di
posisi yang sama dan tenang tanpa bicara–ketika kami makan, tidur, atau
benar-benar merasa lelah, sehingga malas bicara. Benar saja. Setelah pesanan
datang, warung mendadak terasa sepi. Hanya sesekali terdengar bunyi seruputan
es teh melalui sedotan. Setelah makan selesai. Kami membuat “keributan” lagi.
Kali ini Upit tiba-tiba membicarakan sinetron India yang sering di tonton
ibunya. Gita dan Memei bersemangat menanggapinya. Ternyata ibu mereka berdua
juga peminat sinetron itu. Dan seperti yang sudah sering terjadi di rumah.
Karna ibu mereka menonton sinetron India itu, mau tak mau mereka juga ikut
menontonnya. Mereka bertiga tertawa geli, membahas tontonan mereka yang sudah
mirip ibu-ibu rumah tangga. Aku dan Ndeng hanya melongo. Tak mengerti yang
mereka bicarakan. “Kalian ngomongin apa sih?”, tanyaku tak tahan terlihat bodoh
karna hanya bisa melongo melihat mereka menertawakan hal yang tak kumengerti.
Mereka bertiga menjelaskan padaku dan Ndeng tentang topik pembicaraan yang
dimaksud. Akhirnya kami tertawa bersama, terbahak-bahak sampai perut kami yang
tadi sudah kenyang, kini terasa sedikit sakit karena ototnya terus menegang
setiap kami tertawa. Kami cukup lama di warung itu. Rasanya tak ingin beranjak.
Bisa dibilang itu makan-makan bersama terakhir sebelum Memei berangkat nanti
malam, dan Upit berangkat besok pagi-pagi sekali. Setelah waktu menjelang sore,
dan matahari sudah tidak terlalu terik, kami baru memutuskan untuk kembali ke
rumah masing- masing. Mengucapkan salam perpisahan untuk Upit dan Memei.
Memeluk mereka, dan berdoa yang terbaik untuk kami berlima. “Semoga kita bisa
sukses dan berhasil bersama-sama”. Aamiiin.... ^,^
Besoknya,
Allah menjawab doaku tentang magang. Aku mendapat kabar aku diterima magang di
Bogor. Aku bergegas memberi tahu Ibu. Ibu terlihat ikut bahagia mendengar kabar
itu. Akhirnya, Jumat 1 April 2016, aku dan Ibu memesan tiket kereta di St.
Poncol tujuan St. Pasar Senen untuk keberangkatan Sabtu 2 April 2016, kereta Tawang
Jaya pukul 14.00. Karna 4 April 2016 aku harus sudah memulai magang. Ya... aku
diantar Ibu. Karna memang bisa dibilang, aku anak rumahan banget. Meskipun aku
anak sulung, aku anak paling manja di rumah dibanding 2 adikku. Hehehehe XP. Aku
memberi kabar tentang keberangkatanku ke 4 sahabat SMK ku dan 4 sahabat kuliahku
(Hijabers Single XD). Ada satu hal yang mengganjal keberangkatanku, Gigih,
sahabat SMK ku akan menikah 2 minggu lagi. Aku ragu bisa hadir di acara yang
sangat penting itu. Tapi aku berusaha keras, benar-benar berniat hadir. “Semoga
Allah mengijinkan aku hadir di saat terpenting di hidupmu, ya Gih. Aamiiin”,
doaku dalam hati. Setelah membeli tiket kereta, aku mengantar Ibu ke rumah
Bulek Nanik yang letaknya dekat stasiun Poncol. Sedangkan aku menuju kampus
untuk mengurus surat Perjanjian Magang, sekaligus berpamitan dengan pak Kaprodi
dan pak Endro, pembimbing magangku.
Sudah
di kampus. Aku sendirian. Kayak orang ilang. Bingung mau ngapain. Lupa bawa
laptop, padahal HARUS ngedit berkas perjanjian. Akhirnya aku “malak” laptop
orang yang beberapa kali kulihat ngobrol sama Upit dan Memei. Perlu digaris
bawahi, aku sebenernya sama sekali nggak kenal orang itu. Alhamdulillah.. cewe
yang aku pinjem laptopnya baik banget >o<. Dia salah satu penyelamat
pelaksanaan magangku. Terima kasih banyak untuk orang yang biasa dipanggil UCIL
sama Upit dan Memei. Selesai sudah pengurusan berkas. Sudah pamit juga. Saatnya
menjemput Ibu dan kembali ke rumah untuk bersiap. Bismillah... Lancarkanlah
perjalanan magangku ini ya Allah :) ... Aaamiiiin...