Dia Toxic (?)
Seberapa
sering mendengar tentang Toxic Relationship? Dilansir dari Verywell Mind, Toxic
Relationship bisa muncul secara bertahap apabila salah satu pihak terus-menerus
egois, tidak sopan, menuntut, dan bersikap negatif lainnya[i].
Karena
alasan itulah kebanyakan orang yang berada dalam hubungan tersebut memiliki
kecenderungan tidak menyadari hubungannya sudah tak lagi sehat. Hal ini membuat
mereka yang sudah terjerat, sulit untuk keluar dari hubungan yang Toxic. Arti
dari Toxic Relationship sesuai dengan sebutannya, yaitu “meracuni”
kesejahteraan fisik dan mental secara diam-diam[ii].
Apa aku pernah mengalami Toxic Relationship? Pernah. Apa aku sadar saat menjalaninya? Tidak, aku baru sadar setelah hampir 5 tahun sejak awal menjalin hubungan itu. Pada mulanya hubungan kami adalah hubungan yang biasa sampai 6 bulan pertama kami saling mengenal. Tapi jangan bayangkan ini hubungan romantisme antara cowok dan cewek ya hahaha. Karena nyatanya hubungan Toxic juga sangat bisa terjadi di antara 2 cewek yang menjalin pertemanan.
Dan
dari situlah kusimpulkan bagaimana aku bisa terjerat. Selama ini aku hanya
berhati – hati dan menjaga jarak serta membuat batasan dalam membangun hubungan
dengan lawan jenis. Tanpa pernah menduga bahwa hal – hal yang biasa terjadi
antara cowok dan cewek juga bisa dialami dalam hubungan pertemanan antar cewek.
Aku ceroboh dan terlalu naif.
Aku
mengakui aku seorang ‘Kutu Buku’ yang introvert, membuat tak sedikit orang
selalu menilaiku sebagai orang yang ‘Terlalu Polos’ dan ‘Kudet’. Aku sama
sekali tak tertarik dengan Sosmed, dan baru memiliki beberapa akun Sosmed setelah
kuliah. Tapi aku tak pernah menduga bahwa aku bisa menjadi korban Bully karena kukira Tameng-ku cukup
kuat. Aku lemah pada orang – orang yang kuberikan kepercayaan yang sebenarnya
tak mudah didapatkan karena aku keras kepala dan cukup waspada dengan orang
asing. Karena aku memiliki tekad yang kuat untuk berteman, pada akhirnya aku
cenderung berusaha semaksimal mungkin dan selalu penuh perasaan untuk menjaga
hubungan yang mulai terjalin. Tanpa pernah menyadari bahwa bisa jadi perasaan
kami tak sebanding. Definisi kami soal Teman dan Tulus berbanding terbalik.
Mengira bahwa Perasaan (Cinta) Sepihak hanya bisa muncul antar lawan jenis.
Awalnya
hubungan kami baik – baik saja dan cukup akrab, sampai di semester ke-2 tahun
pertama kami, aku merasa mulai muncul celah. Aku yang hanya memiliki sangat
sedikit pengalaman soal pertemanan, menganggap itu hal wajar karena siapa saja
mungkin bisa bosan dalam sebuah hubungan. Kupikir dengan memberinya waktu
sejenak dan ruang untuknya adalah keputusan yang baik. Sayangnya, aku tak hanya
kesulitan bersosialisasi, kenyataannya aku juga sama sekali bukanlah orang yang
peka bahkan cenderung cuek dan tak paham ‘kode-kode’. Aku tak tahu persis kapan
tepatnya momen yang memicu munculnya Toxic dalam hubungan kami. Tapi jika
dugaanku benar, sekitar di masa – masa
itulah. Masa – masa aku mencapai titik balikku. Mendapatkan kenikmatan dan
berkah melimpah. Tanpa pernah menyadari ada seorang —yang sebenarnya aku sama
sekali tak berkeinginan sekecilpun untuk melukai perasaannya— sampai mengambil keputusan dan bertindak untuk
menyerangku dengan halus dari depan dan belakangku.
Dia
mulai melontarkan candaan – candaan yang mencelaku, membuatku terlihat bodoh di
depan teman – teman lain, dan membuat teman – teman cowok risih padaku dengan
guyonan yang berhubungan dengan hal sensitif. Awalnya aku menganggap dia memang
hanya bercanda tanpa bermaksud apapun. Tapi di sisi lain aku mulai bertanya –
tanya tentang hal – hal negatif yang dia lontarkan.
Apa
aku seburuk itu?
Ah..
aku salah ya?
Seharusnya
aku menahan diri ya?
Sepertinya
memang lebih baik untuk berusaha tidak mencolok. Apa aku kurang berusaha agar
tidak menarik perhatian?
Kepercayaan
diriku yang bahkan belum berdiri tegap mulai goyah kembali. Semakin dia lakukan
berkali – kali, semakin runtuh perlahan kepercayaan diriku. Terkadang aku sadar
hubungan kami sudah tak sehat. Tapi tiap kali aku coba menjauh, dia kembali
merangkulku. Tiap aku membalikkan badan dan tidak melihat, dia kembali
menunjukkannya tepat di depan mataku. Dia merendahkanku, kemudian menyanjungku.
Dia menyingkirkanku, kemudian meraihku kembali. Dia mengangkatku tinggi –
tinggi untuk kemudian merasakan kebahagiaan setelah berhasil menjatuhkanku. Aku
sama sekali tak bisa lepas dari bayang – bayangnya. Dia benar – benar pribadi
yang cerah ceria dan sangat mudah berbaur dengan lingkungannya. Tak akan ada seorangpun yang menyangka hubungan kami nyatanya 'seburuk' itu. Ku akui aku
mengaguminya dan ingin bisa setidaknya memiliki ¼ keberaniannya untuk
menunjukkan sisi ceriaku dan bisa lebih ekspresif. Aku terluka dan terjerat.
Dengan bodohnya sukarela mengikuti semua permainannya sampai akhir. Hanya
karena aku tak mau lagi kehilangan teman. Dan kupikir memang begitulah
seharusnya saling berkorban sesama teman. Aku hanya ingin akrab dengannya.
Jadi..
apa ini juga bagian yang disebut Titik Balik? YA.
Karena
begitu banyak kebahagiaan dan hal – hal menyenangkan yang terjadi, hal kecil
seperti candaan tersebut tak begitu kupikirkan. Banyak momen menyenangkan siap
menyambut tiap kali aku sedih dan kecewa. Sampai – sampai hampir tak ada
kesempatan untuk berkeluh kesah. Begitu banyak yang bisa ku syukuri saat itu.
Meskipun ‘serangan mendadak’ darinya juga tak jarang terjadi. Dan bully-an verbalnya semakin lama semakin
frontal, membuatku akhirnya terpaksa mengevaluasi secara seksama bagaimana
keadaan hubungan kami sebenarnya.
Aku
sungguh menyayanginya sebagai teman pertama yang akrab denganku. Tapi kusadari
aku memiliki banyak kekurangan yang mungkin sering membuatnya kesal dan tanpa
sadar menyebabkan dia melakukan hal yang mungkin dia sendiri tak sadar sudah
melakukannya berkali – kali dalam beberapa tahun terakhir. Karena perasaan sayang
dan takut ditinggalkan tersebut, aku menjadikan semua sikapnya sebagai sebuah
maklum telah bersedia berteman denganku. Aku terus menjalani hubungan yang
kupikir memang sewajarnya terjadi, terus – menerus merasa rendah dengan
candaannya, selalu waspada dengan apa yang akan dia katakan, menjaga sikap dan
berusaha untuk sama sekali tak mencolok saat di dekatnya, pun menyalahkan diri
sendiri karena tak pernah berhasil menjadi Teman yang Baik Untuknya, bahkan aku
harus mengontrol ekspresi dan tindakanku agar tak terlihat begitu bahagia
sekalipun aku sedang mendapatkan sebuah pujian atau prestasi tertentu karena
akan menyebabkan dia berekspresi sedih atau kesal. Jadi biasanya aku bisa lebih
lepas dan menjadi diriku justru saat dia tak ada di sekitarku. Aku menikmati
dan mensyukuri kebahagiaanku saat dia menjauh. Tapi aku tak pernah punya
keberanian untuk melepaskannya. Sampai suatu saat aku bertemu orang – orang
‘baik’ yang membuka mataku dengan paksa untuk melihat seberapa parah luka yang
ku pelihara selama ini. Membuatku mengakui dengan mulutku sendiri bahwa aku
sudah tenggelam dalam hubungan yang menyesatkan dan begitu fana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar